Sabtu, 28 Mei 2022

KODRAH LURAH: Penanaman Tauhid Melalui Pemilihan Kepala Desa

Masing-masing wilayah memiliki kearifan sendiri dengan penyebutan pemimpin desanya (kepala desa).  Sebutan geuchik (Aceh), wali nagari (Sumatera Barat), pambakal (Kalimantan Selatan), hukum tua (Sulawesi Utara), perbekel (Bali), kuwu (Pemalang, Brebes, Tegal, Cirebon dan Indramayu), pangulu (Simalungun, Sumatera Utara), peratin (Pesisir Barat, Lampung), dan Kapala Lembang (Tana Toraja & Toraja Utara, Sulawesi Selatan) (sumber: wikipedia). Dan di sebagian wilayah Jawa menyebutnya dengan Ki Lurah, namun setelah perubahan istilah desa dan kelurahan menurut Undang-undang Nomor 5 tahun 1979, lambat laun panggilan Ki Lurah menjadi Pak Kades (Kepala Desa).

Setelah pemberlakukan Undang-undang tersebut, Kepala Desa dipilih oleh masyarakat desa secara demokratis, sedangkan Lurah merupakan jabatan karir yang ditunjuk oleh Bupati atau Walikota untuk memimpin wilayah tingkat kelurahan. Proses pemilihan Kepala Desa dulu dikenal sebagai “KODRAH LURAH”.

Bila kita telusuri, kata KODRAH merupakan serapan dari Bahasa Arab dari akar kata qa-da-ra yang artinya kuasa. Kodrah juga merupakan salah satu sifat dua puluh Allah qudrat yang berarti Maha Kuasa. Kodrah Lurah dapat dimaknai sebagai menjemput pemimpin desa sesuai dengan kuasa Allah. Orang yang menerima pulung disinyalir merupakan orang pilihan Allah. Masyarakat menyebutnya sebagai pulung keprabon atau wahyu keprabon dan ada yang menyebut ndaru.

Pulung berarti mendapatkan anugerah dan keprabon dapat berarti kepemimpinan. Pulung Keprabon berarti anugerah untuk memimpin, sesuai keinginan para leluhur. Pulung ditandai dengan jatuhnya "bintang" atau cahaya dari langit kepada orang terpilih yang akan menduduki jabatan lurah (Kepala Desa). Orang-orang waskito kemudian menggunakan petunjuk itu untuk memberitahukan kepada masyarakat untuk memilih calon yang ketiban pulung.

Proses pemilihan kepala desa yang dilakukan oleh masyarakat adalah ikhtiyar secara demokratis untuk menunjukkan kelayakan kepada masyarakat. Kelayakan tersebut dapat dilihat dari syarat administratif, penyampaian visi-misi-program kerja dan perilaku keseharian para calon. Di sisi lain, para kandidat harus memperjuangkan kelayakan diri di mata leluhur dan Sang Penguasa dengan pertanda Pulung tersebut sebagai anugerah atau kepercayaan.

Pengistilahan Kodrah Lurah, memberikan pesan bahwa kepemimpinan Kepala Desa adalah anugerah dari Allah Swt sebagai perwujudan dari sifat Qadrat (berkuasa) atas segalanya; innnallah ‘ala kulli syai’in qadir. Serapan ajaran Islam banyak kita temukan dalam peristilahan di Jawa, seperti sekaten (syahadatain), merah delima (dal-lima: surat al-ikhlas) dan lainnya. Dan sudah seharusnya setelah Kodrah Lurah (pemilihan Kepala Desa), situasi dan kondisi desa tetap adem ayem sebab masyarakat harus menerima kuasa Allah (Qadrat-Iradat) atas seseorang yang terpilih menjadi kepala desa atau lurah.

Semoga masyarakat desa memahami makna "KODRAH LURAH" yang merupakan penauhidan ajaran agama melalui penyelenggaraan pemilihan kepala desa. Sehingga masyarakat tetap harus mencari petunjuk, siapa sosok yang tepat menjadi pemimpin, dan menerimanya sebagai suatu pemberian dari Allah swt atas kuasa-Nya.

Perubahan istilah “Kodrah Lurah” menjadi Pilkades (Pemilhan Kepala Desa) menghilangkan nilai-nilai filosofis yang dibangun oleh para leluhur. Apalagi praktik Pilkades mengadopsi Pilkada dan Pemilu legislatif yang cenderung menggunakan materi untuk menghimpun dukungan dari masyarakat. Pemilihan pemimpin dengan modal yang besar cenderung memupuk perilaku koruptif untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan untuk meraih kursi kepemimpinan.

Ikrar Pembuka Shalat Yang Terabaikan

Doa iftitah bukan menjadi rukun shalat, namun penting kita renungkan bagi yang mengamalkannya. Kita hanya melafalkan seperti mantra atau tah...