Masing-masing wilayah memiliki kearifan sendiri dengan penyebutan pemimpin desanya (kepala desa). Sebutan geuchik (Aceh), wali nagari (Sumatera Barat), pambakal (Kalimantan Selatan), hukum tua (Sulawesi Utara), perbekel (Bali), kuwu (Pemalang, Brebes, Tegal, Cirebon dan Indramayu), pangulu (Simalungun, Sumatera Utara), peratin (Pesisir Barat, Lampung), dan Kapala Lembang (Tana Toraja & Toraja Utara, Sulawesi Selatan) (sumber: wikipedia). Dan di sebagian wilayah Jawa menyebutnya dengan Ki Lurah, namun setelah perubahan istilah desa dan kelurahan menurut Undang-undang Nomor 5 tahun 1979, lambat laun panggilan Ki Lurah menjadi Pak Kades (Kepala Desa).
Setelah
pemberlakukan Undang-undang tersebut, Kepala Desa dipilih oleh masyarakat desa
secara demokratis, sedangkan Lurah merupakan jabatan karir yang ditunjuk oleh
Bupati atau Walikota untuk memimpin wilayah tingkat kelurahan. Proses pemilihan
Kepala Desa dulu dikenal sebagai “KODRAH LURAH”.
Bila
kita telusuri, kata KODRAH merupakan serapan dari Bahasa Arab dari akar kata qa-da-ra
yang artinya kuasa. Kodrah juga merupakan salah satu sifat dua puluh Allah qudrat
yang berarti Maha Kuasa. Kodrah Lurah dapat dimaknai sebagai menjemput
pemimpin desa sesuai dengan kuasa Allah. Orang yang menerima pulung disinyalir
merupakan orang pilihan Allah. Masyarakat menyebutnya sebagai pulung keprabon
atau wahyu keprabon dan ada yang menyebut ndaru.
Pulung
berarti
mendapatkan anugerah dan keprabon dapat berarti kepemimpinan. Pulung
Keprabon berarti anugerah untuk memimpin, sesuai keinginan para leluhur. Pulung
ditandai dengan jatuhnya "bintang" atau cahaya dari langit kepada
orang terpilih yang akan menduduki jabatan lurah (Kepala Desa). Orang-orang
waskito kemudian menggunakan petunjuk itu untuk memberitahukan kepada
masyarakat untuk memilih calon yang ketiban pulung.
Proses
pemilihan kepala desa yang dilakukan oleh masyarakat adalah ikhtiyar secara
demokratis untuk menunjukkan kelayakan kepada masyarakat. Kelayakan tersebut
dapat dilihat dari syarat administratif, penyampaian visi-misi-program kerja dan
perilaku keseharian para calon. Di sisi lain, para kandidat harus memperjuangkan
kelayakan diri di mata leluhur dan Sang Penguasa dengan pertanda Pulung tersebut
sebagai anugerah atau kepercayaan.
Pengistilahan
Kodrah Lurah, memberikan pesan bahwa kepemimpinan Kepala Desa adalah anugerah
dari Allah Swt sebagai perwujudan dari sifat Qadrat (berkuasa) atas segalanya; innnallah
‘ala kulli syai’in qadir. Serapan ajaran Islam banyak kita temukan dalam
peristilahan di Jawa, seperti sekaten (syahadatain), merah delima
(dal-lima: surat al-ikhlas) dan lainnya. Dan sudah seharusnya setelah Kodrah
Lurah (pemilihan Kepala Desa), situasi dan kondisi desa tetap adem ayem sebab
masyarakat harus menerima kuasa Allah (Qadrat-Iradat) atas seseorang yang terpilih
menjadi kepala desa atau lurah.
Semoga
masyarakat desa memahami makna "KODRAH LURAH" yang merupakan
penauhidan ajaran agama melalui penyelenggaraan pemilihan kepala desa. Sehingga
masyarakat tetap harus mencari petunjuk, siapa sosok yang tepat menjadi
pemimpin, dan menerimanya sebagai suatu pemberian dari Allah swt atas
kuasa-Nya.
Perubahan
istilah “Kodrah Lurah” menjadi Pilkades (Pemilhan Kepala Desa) menghilangkan nilai-nilai
filosofis yang dibangun oleh para leluhur. Apalagi praktik Pilkades mengadopsi
Pilkada dan Pemilu legislatif yang cenderung menggunakan materi untuk
menghimpun dukungan dari masyarakat. Pemilihan pemimpin dengan modal yang besar
cenderung memupuk perilaku koruptif untuk mengembalikan modal yang telah
dikeluarkan untuk meraih kursi kepemimpinan.