Gb. Di Depan Kantor Urusan Haji Indonesia Makkah
Kenapa
isteri menyuruh demikian, pernah suatu malam isteri bermimpi didatangi seseorang
yang sepuh, menggunakan tongkat dan bersorban hijau.
Isteri :
“Jenengan sinten, Mbah?”
Sesorang : “Saya
Maemoen”
Isteri :
“Jarene taksih gerah?”
Sesorang : “nggih, yen ra dikongkon rene Sahal nggih mboten mriki”
(Sebelum mimpi bertemu Mbah Moen, isteri bermimpi didatangi Mbah Sahal)
Setelah memberikan nasihat tentang merawat keluarga, yang kurang lebih
menasehatkan “bila ingin anak-anakmu baik, shaleh-shalehah, perbaiki perilakumu
dan suamimu”, Mbah Mon kemudian berpamitan pulang.
Sesorang : “Wis yaa…saya mau pulang, kapan-kapan dolan ke Sarang”
Isteri : “Nggih …Insyaallah Mbah”
Setelah saya pulang dari Jakarta, sebagai perantau dengan julukan PJKA
(pulang jumat kembali ahad), isteri cerita mimpi tersebut.
Isteri : “Orang itu siapa sih, Mas?”
Saya : “Ciri-cirinya seperti apa?”
Isteri kemudian menceritakan ciri-ciri detail yang mengarah pada sosok
Mbah Maimoen Zubair. Saya searching foto beliau di google dan tunjukkan ke
isteri, dan isteri menjawab “iya, betul”. Saat itu yang saya dengar Mbah Moen
sedang gerah (sakit) dan dalam mimpi isteri juga mengatakan demikian (wallahu a’lam).
Mimpi tersebut yang membuat semangat menuju Kantor Layanan Haki di
Makkah, dan sesampainya disana, saya menunggu uyel-uyelan di depan pintu yang
secara bergantian dibuka-tutup bagi para pelayat yang rata-rata santri beliau. Saya
ditemani petugas pembimbing haji kloter 19 dari Jakarta Timur dan salah satu jamaah.
Setelah masuk, langsung menuju Mbah Moen yang tengah banyak orang
menshalatkannya. Saya duduk tepat di samping kepala beliau, menunduk sambil
menangis ngeracau ngomong ga jelas. Saya tidak menshalatkan beliau karena
merasa malu saja, beliau seorang wali saya malu turut menshalatkan. Setelah cukup
lama duduk, pundak saya ditepuk teman yang saya pikir sudah meninggalkan saya
(berharap begitu) untuk leluasa ikut mengantarkan Mbah Moen.
Saya beranjak menuju pintu belakang, bertemu dengan anggota dewan HBR yang menawari ikut dalam ambulan yang mengantarkan ke Ma’la. Saya menolak, dengan alasan masih harus mengurus jamaah, jangan sampai jamaah saya terlantar Pak Kaji, dan saya pamitan kembali ke hotel. Saya sudah merasa senang ditemui beliau meski tanpa nasihat dari lisan beliau, dan merasa tak pantas berada dalam kerumunan orang-orang baik disana.
Ada makna dan nasihat yang kami dapat dari peristiwa tersebut, baik yang
melalui mimpi maupun pertemuan setelah beliau wafat. Andaikata kami sowan saat
beliau masih hidup, akan banyak nasihat dan doa kebaikan untuk kami dan
anak-anak kami. Kebanggan kami beliau dikenal sebagai min auliyaillah yang
sangat teduh dalam membimbing umat (wallahu a’lam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar