Kamis, 29 Mei 2025

Bertemu Setelah Wafat

Gb. Di Depan Kantor Urusan Haji Indonesia Makkah 

Dini hari waktu Makkah saat itu mendapatkan pesan wattshap, mengabarkan wafatnya Mbah Moen. Bus shalawat sudah tidak lakukan layanan, transportasi yang bisa digunakan adalah taksi menuju Kantor Urusan Haji Indonesia di Makkah, tempat Mbah Moen disemayamkan. Saat itu saya langsung menghubungi isteri, kemudian disarankan untuk menuju tempat persemayaman Mbah Moen. Isteri mengatakan; “Mpean diminta ke Sarang sampai saat ini belum dilakukan, mumpung berada di Makkah, temui Mbah Moen!”, seraya menyuruh dengan rasa kesel terhadap saya.

Kenapa isteri menyuruh demikian, pernah suatu malam isteri bermimpi didatangi seseorang yang sepuh, menggunakan tongkat dan bersorban hijau.

Isteri           : “Jenengan sinten, Mbah?”

Sesorang    : “Saya Maemoen”

Isteri           : “Jarene taksih gerah?”

Sesorang    : “nggih, yen ra dikongkon rene Sahal nggih mboten mriki”

                      (Sebelum mimpi bertemu Mbah Moen, isteri bermimpi didatangi Mbah Sahal)

Setelah memberikan nasihat tentang merawat keluarga, yang kurang lebih menasehatkan “bila ingin anak-anakmu baik, shaleh-shalehah, perbaiki perilakumu dan suamimu”, Mbah Mon kemudian berpamitan pulang.

Sesorang    : “Wis yaa…saya mau pulang, kapan-kapan dolan ke Sarang”

Isteri           : “Nggih …Insyaallah Mbah”

Setelah saya pulang dari Jakarta, sebagai perantau dengan julukan PJKA (pulang jumat kembali ahad), isteri cerita mimpi tersebut.

Isteri           : “Orang itu siapa sih, Mas?”

Saya           : “Ciri-cirinya seperti apa?”

Isteri kemudian menceritakan ciri-ciri detail yang mengarah pada sosok Mbah Maimoen Zubair. Saya searching foto beliau di google dan tunjukkan ke isteri, dan isteri menjawab “iya, betul”. Saat itu yang saya dengar Mbah Moen sedang gerah (sakit) dan dalam mimpi isteri juga mengatakan demikian (wallahu a’lam).

Mimpi tersebut yang membuat semangat menuju Kantor Layanan Haki di Makkah, dan sesampainya disana, saya menunggu uyel-uyelan di depan pintu yang secara bergantian dibuka-tutup bagi para pelayat yang rata-rata santri beliau. Saya ditemani petugas pembimbing haji kloter 19 dari Jakarta Timur dan salah satu jamaah.

Setelah masuk, langsung menuju Mbah Moen yang tengah banyak orang menshalatkannya. Saya duduk tepat di samping kepala beliau, menunduk sambil menangis ngeracau ngomong ga jelas. Saya tidak menshalatkan beliau karena merasa malu saja, beliau seorang wali saya malu turut menshalatkan. Setelah cukup lama duduk, pundak saya ditepuk teman yang saya pikir sudah meninggalkan saya (berharap begitu) untuk leluasa ikut mengantarkan Mbah Moen.

Saya beranjak menuju pintu belakang, bertemu dengan anggota dewan HBR yang menawari ikut dalam ambulan yang mengantarkan ke Ma’la. Saya menolak, dengan alasan masih harus mengurus jamaah, jangan sampai jamaah saya terlantar Pak Kaji, dan saya pamitan kembali ke hotel. Saya sudah merasa senang ditemui beliau meski tanpa nasihat dari lisan beliau, dan merasa tak pantas berada dalam kerumunan orang-orang baik disana. 

Ada makna dan nasihat yang kami dapat dari peristiwa tersebut, baik yang melalui mimpi maupun pertemuan setelah beliau wafat. Andaikata kami sowan saat beliau masih hidup, akan banyak nasihat dan doa kebaikan untuk kami dan anak-anak kami. Kebanggan kami beliau dikenal sebagai min auliyaillah yang sangat teduh dalam membimbing umat (wallahu a’lam)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ikrar Pembuka Shalat Yang Terabaikan

Doa iftitah bukan menjadi rukun shalat, namun penting kita renungkan bagi yang mengamalkannya. Kita hanya melafalkan seperti mantra atau tah...