Dulu, saat kecil bapak sering menggali tanah
dengan ukuran 1 meter kubik, sebagai tempat sampah alami. Sebelum banyak
sampah-sampah tak terurai dari bahan plastik, kaca, dan karet, sampah-sampah
organik membantu proses penggemburan dan peninggian tanah. Dengan adanya mikro
organisme atau pengurai, sampah diubah menjadi kompos dan tanah pun semakin
subur.
Blumbang harus siap menerima semua sampah, sampah terurai membuat tanah gembur dan subur. Yang tidak dapat diurai terkubur dalam tanah tak tampak lagi, meskipun limbah tersebut mengganggu kesuburan tanah. Bisakah kita menjadi "Blumbang" untuk menampung dan mengubah sampah-sampah cacian, makian, hinaan, keluhan, kemarahan orang, cerita bahagia, sapaan, pujian, dan lain sebagainya, dengan menyiapkan pengurai yang bisa menyuburkan dan meninggikan derajat kita ? hingga orang lain menuai manisnya kebaikan kita.
Semua sampah diurai menjadi kompos kebahagiaan untuk menumbuhuh-suburkan sikap baik terhadap orang lain. Penghinaan, celaan, dan makian terhadap diri kita, diurai menjadi kesabaran dan senyuman. Pujian tak kemudian menjadikan kita lupa, hingga takabbaur dan sombong pun mengotori pelataran diri kita. Pujian dan sanjungan harus menjadikan motivasi dan instrospeksi diri dari istidroj.
Bila sampah-sampah itu tak terurai, harus terkubur dalam diri dan hati kita untuk selalu menerima dan bersabar serta minta perlindungan pada Tuhan. Bukan menjadikan diri kita emosi dan temperamental, keluh kesah, kemarahan, cacian dan kedengkian terhadap orang lain. Yang akan menunjukkan kerendahan diri kita karena kebodohan diri dalam bersikap saat marah. Diri akan tampak datar tanpa ekspresi memendam segala sampah-sampah yang tak terurai menjadi rahasia kita dan Tuhan. Cukuplah tanah memendam rasa sakit polutan sampah tanpa mencemari lainnya.
Tampak tinggilah kita, dengan sikap bijak dalam menghadapi berbagai problematika kehidupan. Dan datar tanpa ekspresi emosi, hanya senyum yang nampak meskipun memendam segala rasa kehidupan. Semua itu membutuhkan ilmu dan hidayah sebagai pengurai benang kusut persampahan yang terbuang dalam diri kita. Tanpa ilmu yang kita miliki dan bimbingan Allah swt., kita tidak akan menjadi manusia yang tinggi di sisi-Nya.
Berbeda dengan sekarang, sampah-sampah yang terkumpul dibuangkan ke bak sampah dan diangkut ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Bak sampah tak berfungsi sebagai pengurai dan penghasil kompos melainkan mengalihkan sampah/limbah untuk mencemari yang lainnya.
Kita hanya menampung sampah-sampah masalah, berubah menjadi marah dan mencari sassaran lainnya. Bila di rumah, maka suami/istri dan anak akan menjadi korban kemarahan karena kita tak bisa menguarainya. Terhadap orang-orang yang kita sayangi lebih dominan kemarahannya dibandingkan sikap baik perwujudan rasa sayang tersebut.
Di kantor, Pimpinan menegur Kabag, Kasie, atau mandor, maka yang paling terkena imbasnya adalah pegawai atau karyawan. Teguran seharusnya diramu menjadi sebuah produktivitas kerja tanpa ada cacian dan makian terhadap pegawai atau karyawan. Begitu pula limbah rumah tangga dan lainnya yang turut terbawa ke dunia kerja, pegawai atau karyawan yang akan terimbas.
Dalam sistem kemasyarakatan pun akan demikian, interaksi sosial akan memproduksi sampah-sampah yang kemungkinan kita bisa mengurainya menjadi langkah-langkah positif atau menimbunnya dalam sikap datar kita. Menimbun bukan menumpuk-numpuk persoalan yang suatu saat bisa meledak karena reaksi kimia diri kita tidak terkendalikan. Melainkan sebagai tanah yang dapat menetralisir segala polutan yang masuk dalam diri kita melalui mata, telinga dan rasa.
Marilah kita menjadi blumbang kearifan yang dapat membahagiakan orang lain dan meninggikan derajat kita. Semakin tinggi ilmu kita, sudah seharusnya menjadi pengurai dari segala problematika bukan malah menciptakan sampah-sampah kegaduhan negeri yang menjadi contoh buruk bagi generasi. (abdul basid/doel zemprull)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar