Sabtu, 14 Maret 2015

Rumah Kita

#penggalan cerita " Siluette Cinta "

Keluarga yang indah menjadi bayangan bersama, tiga anak cukup bagi kita. Sendang kapit pancuran menjadi cita-citanya, satu perempuan diapit dua kakak beradik laki-laki yang kelak akan melindungi saudara perempuannya. 

Rumah mungil dengan halaman depan yang ditumbuhi berbagai tanaman hias untuk menambah keasriannya. Di belakang, ada kebon luas yang ditanami berbagai macam tanaman buah dan sayur mayur. Ada rambutan, mangga, sawo, pisang dan tomat, cabe, kangkung dan bayam untuk aktivitas pagi dan sore.
Dapur yang menghadap ke belakang, tepat di depannya ada ruangan terbuka yang difungsikan sebagai mushalla. Menuju mushalla melewati kolam ikan mas, koi, dan nila sehingga seakan hidup kita tidak kering. Air wudhu mengalir ke dalam kolam, untuk dimanfaatkan darpada terbuang sia-sia. Hidup tidak hanya egoisme kita sebagai manusia, kita harus menjaga sinergisitas dengan alam paling tidak rumah kita sebagai miniatur dunia yang hidup sinergi dan harmonis.

Selepas maghrib, saya mengajar ngaji anak-anak dan membimbing belajarnya. Sedangkan mamanya bertadarus al Qur’an dan menyiapkan untuk makan malam anak-anak, serta kebutuhan untuk besok sekolah. Hingga terdengar suara adzan mushalla sebelah, saya panggil Si Raihan untuk kumandangkan adzan sebagai tanda kita akan tunaikan shalat berjamaah. 

Kantor kita yang searah sehingga selalu berangkat kerja bareng, anak-anak juga turut serta untuk sekolah. Si kecil beserta pengasuh dan bibinya di rumah. Bila pulang pun saya sempatkan untuk jemput, bila sudah pulang duluan kuberharap dia menyambutku dengan senyum dan ciuman sayang.
Bahkan sesekali dia terlihat menggairahkan, sudah wangi dan ayu saat aku pulang dari kantor. Kuajak turut serta ke kamar bahkan pernah kejadian di ruang keluarga di atas sofa panjang untuk melepas kerinduan. Rumah ini ditempati saat menghabiskan aktivitas sehari-hari, pekerjaan saya dan dia serta pendidikan anak-anak. 

Satu rumah lagi yang berada di daerah pegunungan. Dengan luas satu hektar, berdiri rumah kecil dan 3 petakan untuk yang menjaga dan mengurus kebun. Selain ditanami sayur dan palawija, ada tiga kolam ikan dan sapi serta kambing etawa. Kelinci Australi dan Anggora, berada tepat di belakang rumah. 

Kita bisa menikmati hasil kebun, minum susu sapi atau kambing, bakar-bakaran ikan tanpa harus membeli. Bila ingin sate kelinci, tersedia kelinci australia yang gemuk-gemuk. Untuk buat telur mata sapi atau minuman STMJ tinggal ambil telur ayam kampung di belakang. Walaupun dia tak suka, kita memiara ayam karena terlalu bising saat berkokok, namun itu salah satu survival orang kampung tempo dulu dan aku ingin mengajarkan pada anak-anak tentang hal itu.

Pulang ke rumah di puncak serta liburan bareng anak-anak untuk menikmati suasana pegunungan, lepas dari hiruk pikuk ramainya Ibu Kota. Sabtu dan Minggu menjadi moment yang indah untuk keluarga, rekreasi tanpa biaya. Anak-anak main di sawah/kebun dan mancing ikan bareng anak-anak penjaga rumah. 

Saya dan mamanya, membantu Pak Samin dan istrinya memanem sayur dan buah yang telah masak. Sedang mak ijah menyiapkan santap siang, untuk kita makan bersama di gaziboo belakang rumah.
Di rumah petakan ada dua keluarga yang hidup dari hasil perkebunan, kolam dan ternak. Mereka seperti keluarga sendiri, walaupun hanya menunggu dan mengurusi rumah kami tak membedakan mereka sebagai kacung atau jongos. Kubiarkan anak-anak main bareng anak-anak mereka, dan anak-anak mereka harus sekolah dan menjadi orang sukses kelak.

Malam beranjak, anak-anak terlelap tidur kecapekan. Papa dan mamanya asyik masyuq memadu kasih dalam suasana dingin pegunungan yang menambah romantisme dan kehangatan bercinta. Seakan tiap minggu, selalu bulan madu untuk menjaga keharmonisan dan rasa sayang kita berdua.
Lelah dan terlelap dalam keheningan yang diiringi nyanyian jangkrik dan belalang, kita berpelukan tak berbusana hanya ditutupi selimut yang menjadikan lebih sayang dan serasa tak ingin melepaskan pelukan. 

Badan terasa berat tertindih, sambil terdengar sayup-sayup orang mengaji dari masjid di kejauhan. Mama telah berada di atas tubuh, dengan terengah-engah minta nambah jatah. Maklumlah kesibukan kita masing-masing, sehingga jarang melakukan seperti ini. Saya asik dengan kesibukan menulis hingga larut malam, saat masuk ke peraduan dia sudah terlelap menunggu kecapaian. Begitu pula, saat akhir bulan, begitu sibuknya dia hingga seakan saya terlupakan. Kertas berserak di meja kerja dalam kamar, bahkan kadang saya harus membopongnya karena terlelap beserta kertas kerjanya di lantai kamar. 

Mandi besar dengan diinginnya air pegunungan seakan malas melakukannya, “Paa,...cepat mandi, yukk jamaah sholat shubuh. Apa papa tak mau tahajudan,......”, terdengar suaranya bangunkan saya.
Begitulah kita menikmati saat ada kesempatan untuk pulang ke rumah di Puncak, sebab tak mesti tiap minggu mempunyai kesempatan bersama jalan-jalan. Saat saya harus ke daerah mengambil data-data tulisan, bisa hampir sebulan kita tak bertemu. Mengajaknya pun sangat susah, karena dia memiliki kesibukannya dan harus ijin sama pimpinannya. Dan tak bisa tiap bulan saya mengajak ke luar daerah. 

Kalau tidak saya yang pergi, saat dia ada acara dinas luar pun aku ditinggal untuk mengurus diri dan anak-anak. Bila dekat, dia minta jemput untuk tidur di rumah. Jarangnya kita bertemu, menambah rindu dan tak ingin ada pertengkaran dalam rumah tangga.

Hari Minggu telah sore namun anak-anak belum pulang, masih asik bermain. Mamanya telah mengemasi barang-barang, dan sedikit hasil kebun, buah dan sayur serta ikan yang dimasukkan dalam box pendingin untuk dibawa pulang ke Jakarta. Setelah anak-anak pulang, bersihkan diri kita mulai melaju menuju Ibu Kota untuk melakukan kesibukan kerja dan  anak-anak harus sekolah.
----- ---- ----


Seminggu kemudian ada tugas ke luar daerah. Sebelum berangkat, malamnya kita habiskan waktu untuk bercinta. Bahkan terkadang nambah sebelum subuh, atau dia berangkat agak terlambat ke kantor. Selepas ngantar anak-anak, mamanya minta ditinggalin lagi.

Bila kangen, dan kepengen saat dirantau kusempatkan untuk pulang sebentar atau sesekali kita bermesraan melalui telepon. Bahkan kadang sex by phone, dengan mengingat saat-saat bermain di rumah. Meskipun harus membutuhkan memori yang kuat untuk mengingat kebiasan seksual saat di rumah. Walaupun tak senikmat berhubungan badan langsung, paling tidak sebagai upaya untuk menjaga keharmonisan keluarga. 

Terpikir juga bila itu suatu kezaliman, karena menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Apakah saya dan isteri termasuk orang-orang yang beruntung..? karena tak bisa menjaga farji kita yang seharusnya digunakan sebagaimana mestinya, harus beronani dan masturbasi dengan by phone untuk melepas kerinduan.

Aku lakukan demikian bila kangen untuk menjaga kemesraan kita karena keterbatasan untuk berhubungan seksual saat aku atau dia tugas di daerah. Dia pun menikmatinya, dengan pertimbangan bahwa dia merasa sangat dirindukan, dan dibutuhkan keganasan di ranjang. Selain itu, dia tak ingin aku berdosa karena nakal dan membawa penyakit kelamin ke rumah. 

Mungkin Tuhan akan lebih mengampuniku dibandingkan harus jajan mencari amoy atau tempat-tempat massage hanya untuk mengeluarkan sperma sebagai kenikmatan sesaat. Paling tidak, aku semakin rindu pada nakalnya istriku saat di ranjang, wallahu a’lam.

Bila kerinduan begitu mengganggu fikiran, kuputuskan untuk pulang terlebih dahulu untuk memenuhi hasrat diri serta menengok anak-anak. Atau dia yang harus berangkat menyusulku di tempat tugas. Selain melepas rindu juga bertamasya bersama, sesekali berserta anak-anak untuk menjaga hubungan keakraban dan keharmonisan dalam keluarga.


#penggalan cerita "Siluette Cinta"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ikrar Pembuka Shalat Yang Terabaikan

Doa iftitah bukan menjadi rukun shalat, namun penting kita renungkan bagi yang mengamalkannya. Kita hanya melafalkan seperti mantra atau tah...