Kamis, 23 Juli 2020

Dasar dan Ajar, lebih kuat mana?

“Dasar kuwi lebih kuat dibanding ajar”, ungkapan orang tua saat mengomentari fenomena sosial masyarakat. Saat itu saya berpikir, bahwa manusia tidak bia diubah dengan proses pendidikan. Namun, pada kenyataannya ada orang yang memiliki sifat keras, melunak saat memperoleh pendidikan. Dan ada orang hingga pendidikan tinggi namun tak bisa menjaga moralitas diri sebagai seorang yang terdidik. Keduanya saling berlawanan, apakah ada kaitannya dengan pernyataan orang tua dulu?
Saat ini saya coba memahami kembali ungkapan yang disampaikan orang tua dulu. Bahwa manusia lahir di bumi sudah menjadi takdirnya, kedua orang tuanya yang harus memberikan dasar atau landesan atau apa yaa….? Fondasi yang kuat sebelum memperoleh pendidikan.

Pernahkah kamu melihat atau bertemu dengan orang yang dianggap memiliki pengetahuan agama yang cukup dan memakai simbol-simbol agama seperti gamis, jenggot, kupluk, dan menggunakan kosa kata ke-arab-araban namun perilakunya keji dan nista? Atau kalian pernah melihat orang yang tidak berlatar pendidikan agama, namun santun dan memiliki sikap-sikap yang mudah menerima nasehat?

Dasar (muasal) manusia tercipta dari tanah atau debu atau sari pati tanah. Kemudian menjadi mani, segumpal darah (zygot), segumpal daging, dibungkung kulit, ditegakkan dengan tulang dan diberi nyawa. Dari tanah hingga menjadi manusia, bukan sim salabim melainkan melalui proses panjang. Dan kita harus menggunakan akal kita untuk memahami proses tersebut terjadi. Terus, bagaimana cara kita menjalankan proses tersebut hingga lahir anak turunan kita?

Sari pati tanah merupakan makanan yang kita konsumsi, diserap oleh tubuh sebagai nutrisi, diikat oleh darah, dan menjadi daging atau tulang yang akan memproduksi seperma (laki-laki) atau sel telur (perempuan). Bila bahan dan cetakan kita kotor (diri kita yang mengkonsumsi makanan kootor), maka hasilnya akan tidak atau kurang bagus. Setelah lahir dengan cetakan (dasar) yang kurang bagus, dilanjutkan dengan memberi asupan gisi kepada mereka dengan makanan yang kotor. Makanan kotor, adalah makanan yang kotor secara dzatnya (haram) dan cara perolehannya cara yang dilarang oleh agama seperti riba, menipu, suap, dan seterusnya. Dimakan oleh kita dan anak-anak, sehingga melekat dalam tubuh kita menjadi daging dan tulang.

Anak-anak tersebut diajar terasa bebal, diberi teladan malah bengal. Kalaupun pandai agama, maka kepandaiannya akan digunakan untuk hal-hal yang “menyimpang” dari tujuan murni agama. Pendidikannya tidak berfungsi untuk mengubah perilaku baik orang tersebut. Disinilah pengertian saya terhadap pesan orang tua, “dasar lebih kuat dibandingkan ajar”.

Baiknya kedua hal tersebut (dasar dan ajar) harus beriringan. Sebelum lahir ke bumi, kita dasari (landasi) calon turunan kita disusun dari sari pati tanah yang bermutu (tidak tercampur perkara haram), diberi makan makanan yang halal, dan dididik dengan pendidikan yang baik.


Abdul Basid
Bekasi, 23 Juli 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ikrar Pembuka Shalat Yang Terabaikan

Doa iftitah bukan menjadi rukun shalat, namun penting kita renungkan bagi yang mengamalkannya. Kita hanya melafalkan seperti mantra atau tah...