“Dasar kuwi
lebih kuat dibanding ajar”, ungkapan orang tua saat mengomentari fenomena
sosial masyarakat. Saat itu saya berpikir, bahwa manusia tidak bia diubah
dengan proses pendidikan. Namun, pada kenyataannya ada orang yang memiliki
sifat keras, melunak saat memperoleh pendidikan. Dan ada orang hingga
pendidikan tinggi namun tak bisa menjaga moralitas diri sebagai seorang yang
terdidik. Keduanya saling berlawanan, apakah ada kaitannya dengan pernyataan
orang tua dulu?
Saat ini saya
coba memahami kembali ungkapan yang disampaikan orang tua dulu. Bahwa manusia
lahir di bumi sudah menjadi takdirnya, kedua orang tuanya yang harus memberikan
dasar atau landesan atau apa yaa….? Fondasi yang kuat sebelum memperoleh
pendidikan.
Pernahkah
kamu melihat atau bertemu dengan orang yang dianggap memiliki pengetahuan agama
yang cukup dan memakai simbol-simbol agama seperti gamis, jenggot, kupluk, dan
menggunakan kosa kata ke-arab-araban namun perilakunya keji dan nista? Atau
kalian pernah melihat orang yang tidak berlatar pendidikan agama, namun santun
dan memiliki sikap-sikap yang mudah menerima nasehat?
Dasar (muasal)
manusia tercipta dari tanah atau debu atau sari pati tanah. Kemudian menjadi
mani, segumpal darah (zygot), segumpal daging, dibungkung kulit,
ditegakkan dengan tulang dan diberi nyawa. Dari tanah hingga menjadi manusia,
bukan sim salabim melainkan melalui proses panjang. Dan kita harus menggunakan
akal kita untuk memahami proses tersebut terjadi. Terus, bagaimana cara kita
menjalankan proses tersebut hingga lahir anak turunan kita?
Sari pati
tanah merupakan makanan yang kita konsumsi, diserap oleh tubuh sebagai nutrisi,
diikat oleh darah, dan menjadi daging atau tulang yang akan memproduksi seperma
(laki-laki) atau sel telur (perempuan). Bila bahan dan cetakan kita kotor (diri
kita yang mengkonsumsi makanan kootor), maka hasilnya akan tidak atau kurang
bagus. Setelah lahir dengan cetakan (dasar) yang kurang bagus, dilanjutkan
dengan memberi asupan gisi kepada mereka dengan makanan yang kotor. Makanan
kotor, adalah makanan yang kotor secara dzatnya (haram) dan cara perolehannya
cara yang dilarang oleh agama seperti riba, menipu, suap, dan seterusnya.
Dimakan oleh kita dan anak-anak, sehingga melekat dalam tubuh kita menjadi
daging dan tulang.
Anak-anak
tersebut diajar terasa bebal, diberi teladan malah bengal. Kalaupun pandai
agama, maka kepandaiannya akan digunakan untuk hal-hal yang “menyimpang” dari
tujuan murni agama. Pendidikannya tidak berfungsi untuk mengubah perilaku baik
orang tersebut. Disinilah pengertian saya terhadap pesan orang tua, “dasar
lebih kuat dibandingkan ajar”.
Baiknya kedua
hal tersebut (dasar dan ajar) harus beriringan. Sebelum lahir ke bumi, kita
dasari (landasi) calon turunan kita disusun dari sari pati tanah yang bermutu
(tidak tercampur perkara haram), diberi makan makanan yang halal, dan dididik
dengan pendidikan yang baik.
Abdul Basid
Bekasi, 23 Juli 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar