Ilmu ibarat air jernih yang bersumber dari Tuhan melalui wahyu yang diturunkan kepada utusannya di muka bumi. al-Quran sebagai sumber keilmuan yang bisa menjadi petunjuk, klarifikan, obat, dan sumber bacaan yang dikuatkan dengan manifestasi utusannya yang kita sebut sebagai sunnah. Sunnah merupakan prototype baik ucapan (qauliyah), perbuatan (fi’liyah) ataupun pernyataan (taqririyah) rasul yang hidup. Yang mendekati sunnah rasul adalah sunah sahabat nabi saw., kemudian para generasi berikutnya (tabiin) dan yang paling mendekati untuk digugu dan ditiru adalah ahli ilmu (ulama). sesuai dengan sabda Nabi saw., al-ulama’ warasatu al-anbiya: ulama adalah pewaris para nabi.
Sumber keilmuan
dan teladan kita adalah ulama. Pengajaran dan perilaku para ulama didasarkan
kepada keilmuan yang tersambung (bersanad) hingga Nabi saw. Ulama memperoleh
pelajaran dan teladan dari gurunya, gurunya mendapatkan ilmu dari guru gurunya,
tersambung ke ulama salafus shalih, para tabiut tabiin, para tabiin, para
sahabat hinggi ke Nabi Saw. Perselisihan yang ditemukan para ulama akan
ditentukan melalui ijtihad kemufakatan para ulama yang tetap didasarkan pada
ilmu.
Budaya berkembang
secara dinamis, Islam harus memberikan jawaban dan warna terhadap perkembangan
budaya yang tidak ada di jaman Nabi Saw. Bahkan di jaman rasul, sesuatu yang
tidak dicontohkan pun tidak disalahkan karena memang secara syariat tidak salah,
seperi shalat sunah wudhu yang dilakukan oleh sahabat Bilal bin Rabah. Di jaman
sahabat Umar bin Khattab ra., memerintahkan shalat tarawih dilakukan berjamaah
dengan bilangan tertentu yang hingga saat ini pelaksanaan shalat tarawih tidak didasarkan
pada satu pendapat.
Budaya juga
menemukan kreasinya sesuai dengan wilayah dan karakteristik masyarakat
setempat. Pelapah kurma yang didoakan nabi saw., untuk meringankan dua ahlil kubur
berubah menjadi tabur bunga saat di Indonensia karena substansinya adalah
berasal dari pohon yang didoakan dan diletakkan di atas makam. Menutup aurat
itu wajib, bentuk, model dan desain pakaian sangat kreatif dan beragam. Meski ada
ragam definisi tentang batasan aurat itu sendiri. Tahlilan yang dilakukan oleh
sebagian besar muslim Indonesia merupakan bagian dari bentuk memahami hadis
tentang sedekah dan hadiah bacaan al-Quran dan dzikir yang meringankan ahlil
kubur. Perbedaan dasar menjalankan peribadatan furu’iyah harus didasarkan pada ilmu
dan teladan salafusshalih dengan tetap menggunakan keilmuan.
Ilmu yang
diibaratkan dengan air tersebut harus disiapkan wadahnya yang bersih. Musa as.,
menyiapkan wadah dengan berpuasa selama empat puluh hari sebelum menerima
wahyu. Nabi Muhammad berkhalwat di gua hiro sebelum memperoleh wahyu yang
pertama. Membersihkan cawan (diri) kita dengan tirakat dan riyadhah serta hormat
dan berpasrah pada guru. Kedua, diniatkan untuk menghilangkan kebodohan dan
diorientasikan pada ukhrowiyah. Ketiga, memberikan asupan nutrisi diri termasuk
otak dan hati kita dengan makanan halal. Keempat, tidak melakukan maksiat
selama menuntut ilmu.
Ilmu yang
jernih akan kotor dan najis bila cawanmu kotor dan najis. Kekotoran cawan
diperngaruhi oleh niatan kita yang ditopang oleh asupan nutrisi yang membentuk
potensi baik-buruknya diri kita. Niatan duniawiyah dalam mencari ilmu berpotensi
ilmu tersebut digunakan untuk mengumpulkan pundi-pundi duniawiyah. Pernahkah kita
mendengar atau membaca para penghafal quran yang hanya sampai pada batang
tenggorokan saja tidak menjadi cahaya hati?
Kita juga
menyaksikan para sarjana yang mengajarkan kebajikan dan kebijakan namun ucapan
dan tindakan tidak sesuai dengan perilakunya. Ilmunya tak berbanding lurus
dengan kesopanan ucapak dan kesantunan perbuatannya, dalam istilah Jawa dikenal
Jarkoni; biso ngajar tak bisa melakoni (ilmunya. Keilmuannya hanya tersimpan
diotaknya dan diucapkan dalam lisannya saja, tidak bisa melembutkan hati dan
perilakunya. Dan kecenderungan yang diributkan adalah penghasilan atau
pendapatan yang diterimanya. Keduniaan (cinta dunia) itu memiliki kecenderungan
pada keburukan (khati’at).
Kiprah kita di
keilmuan dengan perilaku yang tidak berorientasi pada ketuhanan dan keummatan,
coba diingat-ingat kembali apakah cawanmu dulu kotor dalam menerima kejernihan
ilmu. Bila benar, bersihkan dan sucikan dengan memperbarui orientasi dan
memperdalam (memperbanyak) ilmu agama sebagai bentuk pendalaman atau meluruskan
disiplin keilmuanmu (non-agama). Seperti air dalam satu kullah tertimpa najis, untuk
mensucikan buang najisnya perbanyaklah air sucinya hingga minimal dua kullah (qullatain).
Bila keahlian
kita bukan pada keilmuan agama, maka pendalaman ilmu agama dalam rangka mengembalikan
ruh keilmuan yang utuh berorientasi pada ketuhanan dan keummatan. Ilmu agama
menjadi penegas dan filter keilmuan kita tidak menyimpang pada tujuan yang
memberikan manfaat pada semua manusia. Kita harus menjemput kehendak Allah atas
diri kita menjadi orang yang baik, bukan menunggunya. “Man yuridill bihi
khairan yuffiqhu fiddin: barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka
akan diberikan kefahaman agama”
Abdul Basid
19/08/2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar