Kuburan dianggap sebagai salah satu spot yang ditakuti orang. Kesereman kuburan terbayang disana banyak gundukan orang mati, kemudian nongol sosok pocok dan hantu lainnya seperti dalam cerita-cerita yang beredar di masyarakat dan ditayangkan di film-film horor Indonesia. Karena kesereman tersebut kuburan atau tempat pemakaman umum biasanya berada di sudut desa, jauh dari pemukiman. Atau bisa jadi kesereman tersebut diciptakan agar tetap terpelihara kesakralan kuburan agar tidak aktivitas di kuburan selain datang mengirimkan doa.
Di Jakarta dan sekitarnya kita sering menemukan
kuburan atau makam keluarga yang berserak, yang dapat membuat harga tanah atau
rumah disampingnya memiliki nilai jual yang rendah karena identik kesereman
kuburan atau orang Betawi bilang “iseng”. Kuburan dekat rumah memiliki
filosofinya sendiri. Di Jakarta dan sekitarnya, banyak makam keluarga padahal
yang bersangkutan bukanlah kiai besar atau pendiri pondok yang lazim dimakamkan
di sekitar pondok pesantren yang didirikan sebagai makam keluarga. Makam atau
maqbarah muassis pondok pesantren biasanya para santri mengrimkan doa dan bacaan
al-Quran serta untuk nyepi menghafal bait-bait nadzaman kitab atau surat-surat
al-Quran.
Ini bukan keluarga kiai atau pendiri pesantren.
Karena rasa penasaran, saya bertanya kepada salah satu teman sekamar saat
kegiatan kantor yang kebetulan orang Bogor. Mas, Kenapa banyak makam keluarga
di Bogor, Jakarta dan sekitarnya?
Nah, karena pertanyaan saya tersebut. Akhirnya,
dia menceritakan saat ayahnya berwasiat untuk dimakamkan di depan rumah,
berikut dialognya (dialog sudah dimodifikasi, namun tidak mengubah pesan atau
makna dialog mereka):
“Tong, kalau saya mati tolong dimakamkan depan
rumah ya?’, pesan Babahnya.
“Babah, TPU kan deket situ. Napa ga di TPU saja?”,
jawab anaknya
“Gue minta dimakamkan di depan rumah, agar
setiap elu keluar rumah lihat bapak elu, dan dikirimin doa. Kalau kotor, elu
bisa langsung bersihin”, jawab Babahnya.
“Nggaklah, Bah. Kan TPU-nya deket situ. Ane
bisa datang tiap Kamis atu Jumat, kirim doa dan bersihkan makam”, pungkas
anaknya.
“Enyak eloo yang deket di belakang rumah saja
ga pernah elo tengok, apalagi kalau saya dimakamkan di TPU. Bisa-bisa setahun
sekali menjelang lebaran, baru elu tengok dah….”, jawab Babahnya agak emosi.
Dari dialog di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa
hal yang ditakutkan orang tua saat mereka meninggal adalah kelalaian anak-anak
mereka yang tidak mengirimkan doa. Disadari bahwa doa dan sedekah yang
dihadiahkan kepada si mati akan meringankan siksa kubur dan menghapus dosa-dosa
mereka karena kesalehan anak mereka. Posisi dekat dengan rumah, berharap bisa
setiap hari kuburannya dibersihkan dan dirikimkan doa.
Hal yang tidak disadari, bahwa bila anak-anak
mereka itu shalih-shalihah maka meski berada di pojok desa anak-anaknya pasti
akan mendatangi dan mengirimkan doa. Kedua, mendoakan orang tua yang sudah
meninggal tak harus berada di atas makam. Melainkan dari mana pun doa anak-anaknya
yang shaleh akan meringankan siksa dan dosa orang tuanya. Ketiga, orang tuanya
merasa tidak percaya diri bila anak-anak tersebut kelak akan menjadi anak-anak
shalih-shalihah.
Kesibukan kerja dan mencari kepuasan diri bisa
melupakan orang tua kita meski mereka masih hidup. Perjuangan mereka agar
anak-anaknya hidup sejahtera, mapan, dan dalam keadaan serba berada tidak
sebanding dengan perhatian anak-anaknya kepada orang tuanya. Kadang, banyak
orang tua yang lebih memilih hidup tidak serumah dengan anak-anak mereka, sebab
rasa sayang dan kenyamanan tidak didapatkan dengan serumah bersama anaknya.
Mereka hanya membutuhkan sesering mungkin doa dan sedekah atas nama mereka saat
meninggal hanya untuk meringankan siksa dan memantaskan diri mereka layak masuk
surga (ab).
Bekasi, 28 Agustus 2023
Abdul Basid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar