Senin, 28 Agustus 2023

Mengapa Dikubur di Dekat Rumah?

 Kuburan dianggap sebagai salah satu spot yang ditakuti orang. Kesereman kuburan terbayang disana banyak gundukan orang mati, kemudian nongol sosok pocok dan hantu lainnya seperti dalam cerita-cerita yang beredar di masyarakat dan ditayangkan di film-film horor Indonesia. Karena kesereman tersebut kuburan atau tempat pemakaman umum biasanya berada di sudut desa, jauh dari pemukiman. Atau bisa jadi kesereman tersebut diciptakan agar tetap terpelihara kesakralan kuburan agar tidak aktivitas di kuburan selain datang mengirimkan doa.

Di Jakarta dan sekitarnya kita sering menemukan kuburan atau makam keluarga yang berserak, yang dapat membuat harga tanah atau rumah disampingnya memiliki nilai jual yang rendah karena identik kesereman kuburan atau orang Betawi bilang “iseng”. Kuburan dekat rumah memiliki filosofinya sendiri. Di Jakarta dan sekitarnya, banyak makam keluarga padahal yang bersangkutan bukanlah kiai besar atau pendiri pondok yang lazim dimakamkan di sekitar pondok pesantren yang didirikan sebagai makam keluarga. Makam atau maqbarah muassis pondok pesantren biasanya para santri mengrimkan doa dan bacaan al-Quran serta untuk nyepi menghafal bait-bait nadzaman kitab atau surat-surat al-Quran.

Ini bukan keluarga kiai atau pendiri pesantren. Karena rasa penasaran, saya bertanya kepada salah satu teman sekamar saat kegiatan kantor yang kebetulan orang Bogor. Mas, Kenapa banyak makam keluarga di Bogor, Jakarta dan sekitarnya?

Nah, karena pertanyaan saya tersebut. Akhirnya, dia menceritakan saat ayahnya berwasiat untuk dimakamkan di depan rumah, berikut dialognya (dialog sudah dimodifikasi, namun tidak mengubah pesan atau makna dialog mereka):

“Tong, kalau saya mati tolong dimakamkan depan rumah ya?’, pesan Babahnya.

“Babah, TPU kan deket situ. Napa ga di TPU saja?”, jawab anaknya

“Gue minta dimakamkan di depan rumah, agar setiap elu keluar rumah lihat bapak elu, dan dikirimin doa. Kalau kotor, elu bisa langsung bersihin”, jawab Babahnya.

“Nggaklah, Bah. Kan TPU-nya deket situ. Ane bisa datang tiap Kamis atu Jumat, kirim doa dan bersihkan makam”, pungkas anaknya.

“Enyak eloo yang deket di belakang rumah saja ga pernah elo tengok, apalagi kalau saya dimakamkan di TPU. Bisa-bisa setahun sekali menjelang lebaran, baru elu tengok dah….”, jawab Babahnya agak emosi.

Dari dialog di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa hal yang ditakutkan orang tua saat mereka meninggal adalah kelalaian anak-anak mereka yang tidak mengirimkan doa. Disadari bahwa doa dan sedekah yang dihadiahkan kepada si mati akan meringankan siksa kubur dan menghapus dosa-dosa mereka karena kesalehan anak mereka. Posisi dekat dengan rumah, berharap bisa setiap hari kuburannya dibersihkan dan dirikimkan doa.

Hal yang tidak disadari, bahwa bila anak-anak mereka itu shalih-shalihah maka meski berada di pojok desa anak-anaknya pasti akan mendatangi dan mengirimkan doa. Kedua, mendoakan orang tua yang sudah meninggal tak harus berada di atas makam. Melainkan dari mana pun doa anak-anaknya yang shaleh akan meringankan siksa dan dosa orang tuanya. Ketiga, orang tuanya merasa tidak percaya diri bila anak-anak tersebut kelak akan menjadi anak-anak shalih-shalihah.

Kesibukan kerja dan mencari kepuasan diri bisa melupakan orang tua kita meski mereka masih hidup. Perjuangan mereka agar anak-anaknya hidup sejahtera, mapan, dan dalam keadaan serba berada tidak sebanding dengan perhatian anak-anaknya kepada orang tuanya. Kadang, banyak orang tua yang lebih memilih hidup tidak serumah dengan anak-anak mereka, sebab rasa sayang dan kenyamanan tidak didapatkan dengan serumah bersama anaknya. Mereka hanya membutuhkan sesering mungkin doa dan sedekah atas nama mereka saat meninggal hanya untuk meringankan siksa dan memantaskan diri mereka layak masuk surga (ab).

Bekasi, 28 Agustus 2023

Abdul Basid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ikrar Pembuka Shalat Yang Terabaikan

Doa iftitah bukan menjadi rukun shalat, namun penting kita renungkan bagi yang mengamalkannya. Kita hanya melafalkan seperti mantra atau tah...