Dalam ceramah-ceramah di masjid di awal Ramadhan menyitir hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa dua kebahagiaan seseorang yang berpuasa adalah saat berbuka puasa dan bertemu dengan Tuhannya (lisshaimi farhatani, farhatun ‘inda al-ifthar wa farhatun ‘inda liqa’I rabbihi). Kebahagiaan pertama itu rasa senang saat berbuka puasa, dengan lauk apapun kalau lapar kita akan merasa enak untuk dimakan. Meskipun ada istilah Ramadhan itu bulan makanan, dengan ragam ta’jil yang diperdagangkan dimana-mana habis terjual. Di rumah pun banyak jenis minuman, es, dan menu berbuka yang dihidangkan. Kebahagiaan ini bisa menghilangkan esensi puasa untuk bisa merasakan rasa lapar kaum papa.
Kebahagiaan kedua, adalah saat
bertemu dengan Allah Swt. Ibadah yang dilakukan oleh umat Islam dilipatkangandakan
10 – 700, kecuali puasa. Allah mengatakan bahwa puasa hamba untuk-Ku dan Aku
yang akan membalasanya. Mereka meninggalkan kesenangan dan makanan karena-Ku
(HR. Muslim). Benarkah puasa kita bisa mempertemukan dengan Allah Swt.? Puasa
yang dengan iman dan keikhlasan (imanan wa ihtisaban), yang akan mendapatkan
pengampunan dari dosa-dosanya. Benarkah puasa kita untuk Allah? Dan layak
diberikan pahala berlipat hingga ditemui Allah kelak. Benarkah puasa kita
meninggalkan seluruh syahwat dan makanan?
Beberapa pertanyaan di atas perlu
mendapatkan renungan diri.
1. Puasa untuk
Allah itu tidak memperhitungkan apapun, tetapi fokus pada peningkatan kualitas
dan kuantitas peribadatan dan muhasabah untuk memperbaiki kualitas diri. Setelah
syawal kita memiliki ciri-ciri orang yang bertakwa (la’allakum tattaquun).
2. Puasa dengan
meninggalkan kesenangan (syahwat), sementara di Ramadhan kita sibuk berburu
takjil, berburu pakaian baru untuk persiapan lebaran, dan menyiapkan diri
menjadi orang yang baru dan keren di saat lebaran nanti. Belum lagi syahwat
kehormatan, mengundang fakir miskin untuk diberi uang dan divideokan serta di posting
di media sosial;
3. Puasa meninggalkan
makanan, benar kita tak makan di siang hari namun otak kita berisi makanan yang
akan kita lahap setelah dung adzan maghrib. Puasa hanya memindah jadwal makan
dan menambah kesenangan tentang makanan atas nama buka puasa.
Ramadhan juga memberikan kebahagiaan
tersendiri bagi pemburu uang receh, sebab pendapatan meminta-minta akan lebih dibandingkan
bulan-bulan biasa. Kita bisa melihat pertambahan gepeng yang keliling
rumah-rumah untuk minta sedekah atau zakat. Ramadhan juga membahagiakan bagi
para pengelola toko dan mall-mall, yang ramai dari awal hingga akhir bulan. Ramadhan
juga membahagiakan bagi karyawan dan pegawai yang akan mendapatkan tunjangan
hari raya (THR). Ramadhan membahagiakan kaum urban untuk mudik ke tanah
kelahiran bertemu orang tua, sanak dan saudara. Dan masih banyak kebahagian-kebahagian
yang dirasakan oleh manusia di Ramadhan, yang tak hanya umat islam.
Kabahagiaan orang yang perpuasa di
Ramadhan sesuai kadar mereka masing-masing. Ramadhan menjadi berkah untuk ummat
manusia, dan hanya orang-orang tertentu yang mampu menangkap sinyal Allah yang
dimungkinkan mendapatkan dua kebahagiaan tersebut, saat berbuka dengan
memanfaatkan momen mustajabah, mengurangi penat isi perut, dan segera beranjak
ke peraduan ke Yang Maha Kuasa. Kebahagian yang dimungkinkan untuk bertemu pada
Tuhannya, benar-benar menjaga kualitas puasanya yang berdampak pada peningkatan
ketakwaan, memperbanyak amal shalih dan tak pernah sedikit pun menduakannya (man
kana yarju liqa’a rabbihi fal ya’mal amalan shalihan wala yusyrik bi ibadati
rabbihi ahada).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar