![]() |
Gambar: Pak Nasib & dr. Rian |
Mampu
(istitho’ah) yang pertama adalah melunasi biaya perjalanan, atau dibiayai oleh
orang lain. Orang kaya belum tentu terketuk hatinya untuk mendaftarkan diri
untuk berhaji. Ada orang kaya yang sudah dipanggil pelunasan oleh Kementerian
Agama, tidak mau melunasi padahal banyak orang yang ingin segera menunaikan
ibadah haji. Dia takut dengan cerita-cerita mistis para jamaah saat di
haramain. Sementara seorang marbot masjid, tiba-tiba dikabari berangkat haji
secara mendadak dibiayai oleh orang lain. Ada orang tak berpunya menabung seperak-dua
perak dan akhirnya berangkat haji..
Mampu
(istitho’ah) kedua, adalah sehat jasmani dan ruhani ditentukan oleh puskesmas
atau rumah sakit. Pun demikian banyak resiko tinggi dan memiliki riwayat sakit
bisa diberangkatkan, apakah itu dispensasi pemerintah sebab antrian panjang
atau memang Allah yang memanggil untuk menjadi tamunya. Labbaikallahumma hajjan
wau mratan, aku penuhi panggilanmu ya Allah untuk berhaji dan umrah.
Pak
Nasib kloter 14 tertunda pemberangkatannya karena sakit, beliau berusia kurang
lebih 80-an tahun. Beliau sendirian dan akhirnya berangkat dititipkan di kloter
19.
Dr. Rian : “Pak Ketua, belaiu seharus tidak diberangkatkan, Pak. Saturasi oksigennya rendah, tak mungkin layak terbang sebab beresiko tinggi”
Ketua : “Kita hanya dititipi, dok. Bila Allah memanggilnya, Insyaallah berangkat, dan
bila tidak, pasti akan terkendala di pemeriksaan”
Akhirnya Pak Nasib jadi berangkat dengan kami ke Madinah terlebih dahulu
dan saat di Makkah dikembalikan ke kloter semula.
Dalam cerita yang lain, di tahun yang sama. Ada seorang perempuan batal berangkat dua
kali pemberangkatan haji (2 tahun), dan di tahun 2019 kondisinya masih sama,
tidak memungkinkan secara medis untuk berangkat haji. Kemudian ada seorang alim
memberikan saran kepada suaminya agar memohon kepada Allah, karena Dia yang
mengundang sevagai tamunya (dhuyufurrahman). Saran tersebut dilakukan,
dan rekomendasi medis perempuan tersebut layak terbang untuk menunaikan ibadah
haji. Sedari kedatangan hingga pelaksanaan wukuf, perempuan itu sehat wal afiyat.
Selesai pelaksanaan wukuf perempuan tersebut masuk rumah sakit seperti sedia
kala saat di Indonesia, tak berselang lama meninggal dunia.
Dalam cerita lainnya penderita TB tulang, mendapatkan rekomendasi dari
salah satu rumah sakit di Jakarta Timur karena saat diperiksa oleh tim medis
dinyatakan sehat dan bisa berangkat menunaikan haji. Setelah di Makkah terdeteksi
TB tulang, yang bersangkutan di karantina hingga kepulangannya. Ibadah hajinya
dikawal oleh tim medis, wukuf dalam pengawasan tim medis. Setelah dipulangkan
di penerbangan terakhir bersama petugas, sesampai di Indonesia dinyatakan
sehat, sembuh dari penyakitnya.
Keyakinan orang kampung tentang haji adalah panggilan itu juga tidak
mengada-ada, banya sekali kejadian yang mengarah pembenaran tersebut. Penulis
cerita pun tidak menyangka berangkat ke tanah suci, padahal sudah tidak mau
urusi diterima atau tidak menjadi pelayan tamu Allah. Ada banyak orang yang
mendaftar hingga sembilan kali, namun tak lolos. Rasa ga tega dan ga layak,
mengurungkan harapan tersebut. Mereka yang berangkat dan bertugas. Pesan isteri;
“Mas, mpean itu dikon mangkat, dienteni ning kono” (wallahu a’lam).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar