Doa
iftitah bukan menjadi rukun shalat, namun penting kita renungkan bagi yang
mengamalkannya. Kita hanya melafalkan seperti mantra atau tahu artinya tanpa
mengamalkan maknanya. Seumur hidup tidak mengalami peningkatan ilmu, padahal
mencari ilmu itu wajib bagi tiap-tiap muslim (thalabul ilmi faridhotun ‘ala
kulli muslimin wa muslimatin). Hal ini menjadi tantangan bagi pengurus
masjid dan mushalla, tidak hanya memperbaiki gedung dan interiornya, juga
meningkatkan pemahaman keagamaan jamaahnya.
Setelah
takbiratul ihram, kemudian membaca kabiran wal hamdulillah katsiran yang
kurang lebih artinya keagungan dan pujian bagi Allah yang tak terkira. Katsiran
itu banyak, berapa kali kita bertakbir, paling tidak 90 kali bertakbir dalam
shalat wajib, bila dengan dzikir bakda shalat, menjadi 255 kali kita bertakbir
setiap hari.
Manifestasi
dalam kehidupan sehari-hari kita tidak mengerdilkan asma wa shifat Allah dalam
ucapan, pikiran, perasaan dan tindakan. Menghawatirkan diri tidak memperoleh
rizki adalah salah satu bisikan halus tidak percaya Allah yang maha pemberi rizki (al-Razaq).
Kita secara tak sadar keluh kesah kita “blandrang” alias kebablasan hingga
mengerdilkan Allah bahkan menghilangkan eksistensinya. Kita juga melakukan hal
yang dilarang dengan menyepelekan keberadaan Allah, dengan
mengatakan “ah gampang nanti tobat” sambil kecengesan.
Kalimat
hamdalah (alhamdulillah) sebagai ucapan ringan rasa syukur kita kepada
Allah atas nikmat hidup dan fasilitas tanpa bayar yang diberikan-Nya. Lebih mendalam
lagi kalimat tersebut tak hanya dibaca saat sadar merasakan nikmat dan
pengantar dalam doa. Kita harus menggunakan nikmat tersebut untuk meningkatkan
keimanan dan ketakwaan kita, menebar kebermanfaatan bagi sesama ciptaan-Nya
paling tidak kenikmatan yang kita rasakan tidak digunakan untuk membuat
kerusakan di bumi (yufsiduna fil ardh).
Wasubhanallahi
bukratan wa ashilah, dan menasbihkan diri di pagi hingga sore hari.
Apakah kita selalu bertasbih, dalam sehari minimal 318 kali bacaan tasbih. Bila
makna tasbih itu “maha suci Allah”, sementara Allah tidak membutuhkan bacaan
kita mensucikan-Nya. Mungkin kalimat itu untuk mengontrol pikiran, perbuatan dan
rasa kita dari merendahkan dan mensyirikkan Allah swt., serta tidak melakukan
perbuatan yang dilarang.
Inni
wajjahtu wajhiya, lilladzi fathara al-samawati wal ardhz hanifan musliman,
sesunguhnya kuhadapkan diriku ke arah-Nya, Dia yang menciptakan langit dan bumi
dengan ketundukan dan kepasrahan. Dalam aktivitas sehari-hari tidak boleh
berpaling dari-Nya, semua tindakan hanya tertuju kepada Allah swt (lillahi
ta’ala). Dengan bacaan tahlil (laa ilaha illa Allah), kita harus
melatih diri semua yang selain Allah itu hilang (fana). Apakah tindakan
kita sudah demikian? coba dipikir-pikir dan diresapi kembali (muhasabatun
nafs).
Wama
ana minal musyrikin, dan saya bukan bagian dari orang-orang yang mempersetukukan-Nya
(musyrikin). Kita sendiri menyatakan bukan bagian dari orang-orang musyrik,
benarkah kelakuan kita demikian? Mestinya kita sudah paham yang dimaksudkan
syirik dan resikonya yang tidak akan pernah diampuni dosanya. Tindakan itu dari
yang lembut (khoufi) seperti riya’ (pamer) hingga terang-terang (jally)
dengan bertuhan kepada selain-Nya.
Inna
al-shalati wanusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil alamin, sesungguhnya
shalatku dan ibadahku, hidup dan matiku untuk Allah, pembimbing (rabb)
seluruh alam. Coba dipikir kembali, bagaimana shalat kita, untuk siapa dan apa
yang diharapkan? Dalam shalat diupayakan khusuk, dan memiliki self impact
pencegahan dari perbuatan keji dan munkar. Sembahyang merupakan persembahan diri kepada
Sang Hyang (Allah swt) tanpa syarat dan mengharap imbalan. Pahala, surga,
ketenangan, kesehatan dan lainnya adalah konskuensi yang didapatkan dari
praktik yang hanifan musliman, bukan menjadi tujuan. Ingat …! Siapa menjadikan
dunia dan niatan lainnya menjadi tujuan, maka mereka hanya mendapatkan hal yang
dituju tersebut. Sebaliknya, barangsiapa Allah menjadi tujuannya, maka mereka
akan mendapatkan dunia dan akhirat seisinya.
Laa
syarika lahu wabidzalika umirtu wa ana minal muslimin,
tidak ada persyirikan terhadap-Nya dan yang demikian diperintahkan dan saya
bagian dari orang-orang yang tunduk (taslim). Sekali lagi tidak
mempersekutukan disebut kembali, dan dinyatakan bahwa saya bagian dari orang
yang tunduk atau damai. Artinya, tunduk menjalankan shalat dan ibadah lainnya
dengan tanpa mensyirikkan dan melupakan Allah swt. Pesan untuk tidak meninggalkan
dunia dalam keadaaan tidak tunduk (muslim), wala tamutunna illa wa antum
muslimun dan hanya orang-orang yang muthmainnah (tenang jiwanya)
yang dapat kembali kepada Allah swt. Silakan dipikir kembali, dalam kehidupan
kita apakah sudah benar tindakan kita dalam kerangka tersebut?
Doa
ifititah sebagai ikrar pembuka dalam shalat juga menjadi ikrar kita dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari. Shalat yang tepat adalah yang memberikan self
impact pencegahan perbuatan keji dan munkar diri serta dapat menciptakan harmoni
masyarakat dan alam sekitar dalam kehidupan. Shalat memiliki hubungan
transendental secara vertikal dan horisontal. Secara vertikal, shalat merupakan
dialog kawulo lan Gusti (al-shalatu mi’rajul mukminin). Setiap persoalan
yang kita hadapi, dengan shalat kita mengkomunikasi dengan Allah (wasta’inu
bi al-shabri wa al-shalah). Secara horisontal, shalat harus bisa menuntun
pelakunya menjadi orang yang baik yang menebarkan kedamaian.
Setelah
kita membaca setiap shalat, mari kira renungi untuk memanifestasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Bukan rukun, namun secara mendalam dapat menuntun dan
mengingatkan kita atas ikrar iftitah shalat untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari
hingga nanti kembali (ruju’) kepada Allah swt, dengan selamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar