Tempat
kerja merupakan skala kecil berkumpulnya orang-orang yang membentuk masyarakat
tersendiri, sesuai dengan pekerjaan yang digelutinya. Watak manusia yang
mengisinya juga dapat sama dengan watak-watak manusia di lingkungan masyarakat
luas bahkan suatu kaum tersendiri.
Ada yang
seperti Adam dan Hawa yang tertipu oleh bisikan manis dari buah segar nan enak
rasanya yang menjerumuskan pada pengingkaran terhadap amanah Allah. Ada yang
seperti Zulaikha dan rekan-rekan wanitanya yang gampang takjub dengan kemolekan
duniawi yang disimbulkan pada wajah Yusuf. Karena layaknya sebagai kaum ada
pula yang ditugasi sebagai penyeimbang yang digambarkan antara cahaya dan
kegelapan. Ada yang seperti sengkuni dalam kisah pewayangan, yang cukup lihai
memainkan perannya sebagai sengkuni.
Yang
menempuh jalan sunyi, tidak mau ikut dalam kuur paduan suara dianggap
aneh. Bagai makhluk asing yang keikutsertaannya bisa dianggap sebagai mata-mata
atau seperti dokter di rumah sakit jiwa.
Mereka
bukan kumpulan para nabi yang selalu dipelihara kema’sumannya oleh Allah, bukan
para awliya’ yang selalu mendekat dengan Tuhannya, bukan pula kumpulan para
ahli tharekat yang selalu berdendang dzikir dalam melatih diri.
Istighfar
mereka hanya sebatas liven yang menghiasi bibir, namun tidak diwujudkan
dalam perbuatan untuk tidak mengulangi lagi. Tasbihnya bukan penyucian diri
terhadap tindakan-tindakan yang dilarang oleh penciptanya, melainkan sebagai
hiasan di mobil. Puasa senin-kemis bukan mengikuti sunah, melainkan
karena pengetahuannya tentang pembakaran daging-daging jahat yang terbentuk
karena makanan yang masuk dalam tubuh yang bersumber dari pendapatan yang samar
melalui ritual puasa.
Sering
mandi di tempat yang mewah dengan air hangat bahkan melakukan spa-spa bahkan
manycure, pedicure atau kur-kur lainnya untuk perawatan tubuh. Yang
dibersihkan hanya wadhag kotor
yang nantinya akan menjadi bangkai, busuk dimakan belatung dan menjadi
tanah.
Untuk
melepaskan penat di akhir pekan, pergi ke tempat-tempat rekreasi untuk
memanjakan dan menghibur diri dari kegilaan-kegilaann waktu yang dipandang
sebagai sesuatu yang harus dilalui dengan mendapatkan uang.
Manusia
adalah makhluk religius, yang telah berikrar diri dihadapan Tuhan saat
penciptaan ruh kita dengan mengcup “qolu balaa syahidna”. Kita tahu
tentang kebenaran dan kebatilan, tentang cahaya dan kegelapan. Pilihan kita
menafikan Tuhan, “ah Allah kan maha pengasih dan penyayang serta pengampun”.
Apakah
kita tidak mengambil pelajaran dari seseorang hanya karena satu biji kurma
doanya tidak menembus arsy, bapak imam besar yang harus meminta kehalalan dari
sebuah delima yang telah dimakannya. Sebutir zarah kebaikan akan Allah balas dengan
kebaikan begitu juga sebaliknya.
Mencari
penghasilan untuk kemuliaan bangkai anak cucu, dengan menabrak norma-norma
agama, tamak, iri, menggerus hak kawan. Yang kita makan akan menjadi mani,
bersanggama kemudian menjadi anak yang akan membawa persifatan diri kita yang
telah konsumsi makanan entah baik atau buruk.
Uang
yang kita dapat, untuk sekolahkan anak bahkan dalih-dalih ingin anak-anaknya
shaleh-shalehah di titipkan di pesantren. Kebaikan tidak diciptakan dari
keburukan, lulus pesantren banyak juga yang gak karuan……….kenapa? menjadi
sarjana dan bekerja namun korupsi…..kenapa? Yang demikian apakah disebut
memuliakan anak keturunan kita? Jambu akan berbuah jambu, durian akan berbuah
durian, pisang tak kan berbuah durian. ..........................................abdul basid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar