Selasa, 04 Juni 2013

Memuliakan Badan Wadhak Bangkai…..

Tempat kerja merupakan skala kecil berkumpulnya orang-orang yang membentuk masyarakat tersendiri, sesuai dengan pekerjaan yang digelutinya. Watak manusia yang mengisinya juga dapat sama dengan watak-watak manusia di lingkungan masyarakat luas bahkan suatu kaum tersendiri.
Ada yang seperti Adam dan Hawa yang tertipu oleh bisikan manis dari buah segar nan enak rasanya yang menjerumuskan pada pengingkaran terhadap amanah Allah. Ada yang seperti Zulaikha dan rekan-rekan wanitanya yang gampang takjub dengan kemolekan duniawi yang disimbulkan pada wajah Yusuf. Karena layaknya sebagai kaum ada pula yang ditugasi sebagai penyeimbang yang digambarkan antara cahaya dan kegelapan. Ada yang seperti sengkuni dalam kisah pewayangan, yang cukup lihai memainkan perannya sebagai sengkuni.
Yang menempuh jalan sunyi, tidak mau ikut dalam kuur paduan suara dianggap aneh. Bagai makhluk asing yang keikutsertaannya bisa dianggap sebagai mata-mata atau seperti dokter di rumah sakit jiwa.
Mereka bukan kumpulan para nabi yang selalu dipelihara kema’sumannya oleh Allah, bukan para awliya’ yang selalu mendekat dengan Tuhannya, bukan pula kumpulan para ahli tharekat yang selalu berdendang dzikir dalam melatih diri.
Istighfar mereka hanya sebatas liven yang menghiasi bibir, namun tidak diwujudkan dalam perbuatan untuk tidak mengulangi lagi. Tasbihnya bukan penyucian diri terhadap tindakan-tindakan yang dilarang oleh penciptanya, melainkan sebagai hiasan di mobil. Puasa senin-kemis bukan mengikuti sunah, melainkan karena pengetahuannya tentang pembakaran daging-daging jahat yang terbentuk karena makanan yang masuk dalam tubuh yang bersumber dari pendapatan yang samar melalui ritual puasa.
Sering mandi di tempat yang mewah dengan air hangat bahkan melakukan ­spa-spa bahkan manycure, pedicure atau kur-kur lainnya untuk perawatan tubuh. Yang dibersihkan hanya wadhag kotor  yang nantinya akan menjadi bangkai, busuk dimakan belatung dan menjadi tanah.
Untuk melepaskan penat di akhir pekan, pergi ke tempat-tempat rekreasi untuk memanjakan dan menghibur diri dari kegilaan-kegilaann waktu yang dipandang sebagai sesuatu yang harus dilalui dengan mendapatkan uang.
Manusia adalah makhluk religius, yang telah berikrar diri dihadapan Tuhan saat penciptaan ruh kita dengan mengcup “qolu balaa syahidna”. Kita tahu tentang kebenaran dan kebatilan, tentang cahaya dan kegelapan. Pilihan kita menafikan Tuhan, “ah Allah kan maha pengasih dan penyayang serta pengampun”.
Apakah kita tidak mengambil pelajaran dari seseorang hanya karena satu biji kurma doanya tidak menembus arsy, bapak imam besar yang harus meminta kehalalan dari sebuah delima yang telah dimakannya. Sebutir zarah kebaikan akan Allah balas dengan kebaikan begitu juga sebaliknya.
Mencari penghasilan untuk kemuliaan bangkai anak cucu, dengan menabrak norma-norma agama, tamak, iri, menggerus hak kawan. Yang kita makan akan menjadi mani, bersanggama kemudian menjadi anak yang akan membawa persifatan diri kita yang telah konsumsi makanan entah baik atau buruk. 
Uang yang kita dapat, untuk sekolahkan anak bahkan dalih-dalih ingin anak-anaknya shaleh-shalehah di titipkan di pesantren. Kebaikan tidak diciptakan dari keburukan, lulus pesantren banyak juga yang gak karuan……….kenapa? menjadi sarjana dan bekerja namun korupsi…..kenapa? Yang demikian apakah disebut memuliakan anak keturunan kita? Jambu akan berbuah jambu, durian akan berbuah durian, pisang tak kan berbuah durian. ..........................................abdul basid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ikrar Pembuka Shalat Yang Terabaikan

Doa iftitah bukan menjadi rukun shalat, namun penting kita renungkan bagi yang mengamalkannya. Kita hanya melafalkan seperti mantra atau tah...