Minggu, 23 November 2014

Bangsa Bebek Si Penunggu Magrib

Indonesia mempunyai ragam suku bangsa, bahasa dan budaya serta banyak kuliner dan karya anak bangsa yang tak kalah dengan asing. Namun belum nampak konsep pendidikan yang jelas agar generasi bangsa bangga terhadap negara, bahasa dan budayanya.

Mereka lebih bangga berbahasa inggris dibanding melestarikan bahasa daerahnya. Padahal bahasa asing hanya sebagai alat komunikasi dan eksplorasi pengetahuan. Belajar bahasa inggris tidak membuat kita jadi orang Inggris dan belajar bahasa arab tak lantas menjadi orang arab.

Para artis dan kaum bojouis lebih memilih belanja keluar negeri, dibanding tas garut, sepatu cibaduyut, baju tasik, dan produk lainnya. Karena tidak "branded", atau alasan lainnya. Padahal apa yang nereka pakai ditiru oleh para fans-club. Mereka dapat berperan untuk memupuk rasa cinta pada produk dalam negeri.

Kita lebih paksakan suka terhadap pizza, spageti, donat, hotdog dibanding onde-onde, klepon, nogosari, semar mendem, empek" atau lainnya. Kita lebih memilih Resto-resto besar dibanding rumah makan nasi Padang, Warteg, Warung Kopi dan makanan-makanan pinggir jalan itu norak. Karena kampungan dan tidak keren, namun dibalik itu selain mengikis rasa nasionalisme juga siapa yang memperoleh keuntungan dari kuliner yang disajikan.

Kenapa menjadi "herbal"..? Tidakkah kita berusaha mempertahankan "Jamu" yang lebih khas Indonesia. Kenapa "boarding school" tidak pesantren saja..? Kenapa "mastery learning", tidak bandongan atau sorogan...? Kenapa beberapa perumahan-perumahan menggunakan istilah barat bahkan kuburan saja menggunakan bahasa asing..?

Kita lebih suka menjadi bangsa bebek, dibanding menjadi singa. Tidak mempunyai inisiatif, hanya ikut-ikutan saja. Menjadi emprit lebih bangga dibanding menjadi Garuda. Tidak perlu berburu dan bersaing, karena makanan telah disajikan oleh petani bahkan banyak makanan sisa-sisa di kali.


Kita lebih suka menunggu magrib, padahal bangsa sudah sekarat. Setelah seluruh sumber daya alam telah dirampok baru sadar diri untuk bangkit, padahal alam telah terkikis habis. Menunggu salam dibanding mengumandangkan adzan. Lebih mempersilahkan asing untuk mengelola sumber daya alam, lebih percaya pada bangsa lain padahala modal kepercayaan adalah percaya pada diri sendiri.

Sampai kapan kita akan demikian......?
Bangkitlah wahai sobat-sobat sebangsa dan setanah air, mungkin kita telah merdeka pada tahun 1945, namun masih banyak penjajahan-penjajahan dengan modus lainnya.
--DZ al Q-Shud--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ikrar Pembuka Shalat Yang Terabaikan

Doa iftitah bukan menjadi rukun shalat, namun penting kita renungkan bagi yang mengamalkannya. Kita hanya melafalkan seperti mantra atau tah...