Pesan
orang-orang dahulu kita diharapkan -- luru
slamet -- mencari keselametan. Keselametan sendiri mempunyai hubungan kata
dengan islam. Islam -- muslim -- salim --
dapat berarti damai, tunduk atau selamet.
Tiap
mendapatkan musibah atau mimpi buruk, masyarakat tertentu selalu membuat – selametan -- sekedar membuat bubur abang – putih ( merah putih ) atau golong ( nasi putih, kuang santan kuning
dan telur bulat ). Yang kemudian manggil tetangga untuk ngamini doa, demi
keselamatan keluarga. Bahkan tahlilan nujuh
hari, matang puluh, nyatus, nyewu dan mendak taon juga istilahnya slametan. Karena mengharap keselamatan
untuk si mayit agar selamat dari siksa kubur dan siksa di akhirat ( Neraka ).
Begitu
pula saat beli kendaraan bermotor, naik jabatan, atau memperoleh anugerah
lainnya juga mengadakan selametan.
Dengan berharap saat kendaraan itu dinaiki terhindar ( selamet ) dari bencana dan musibah. Naik jabatan mungkin sebuah
karunia, namun dalam jabatan penuh dengan amanah dan tanggung jawab, dengan
selametan berharap agar terhindar ( selamet ) dari fitnah dan berbagai
ketidak-amanah-an dari jabatan tersebut.
Menurut
Ki Agus Sanyoto, awal Islam masuk ke tanah Nusantara ( Jawa ) para juru dakwah hanya mensyaratkan tiga hal,
yaitu; syahadat, sholat dan slametan.
Slametan sendiri bila mengakar pada kata salima
maka akan berujung pada islam. Dalam al Qur’an disebutkan “masuklah ke dalam islam secara kaffah”
dan “janganlah kalian mati kecuali dalam
keadaan islam”. Mereka yang membuat selametan karena berharap selamet dalam
kondisi apapun, saat diberikan musibah ( cobaan ) – selamet dari kekufuran –
maupun saat diberikan anugerah ( bisa jadi istidroj ), --- selamet dari
keangkuhan.
Nikmat
-- karunia -- rejeki -- atau pemberian lain Allah swt., tidak bisa kita anggap
sebagai sebuah nikmat saja. Ujian tak hanya kesengsaraan, kekayaan pun menjadi
ujian karena di dalamnya juga terkandung nilai-nilai yang menjauhkan diri dari
ketakwaan. Pemberian Allah swt., bagi orang-orang tertentu kadang kala dimaknai
sebagai istidroj sehingga harus
berhati-hati, bersyukur itu pasti namun berlindung atas keselamatan diri istidroj dan potensi dosa dari nikmat
juga lebih penting.
Bersyukur
adalah memanfaatkan karunia dalam peningkatan ketaqwaan, tak cukup hanya
berucap al hamdulillah saja. Dalam
satu ayat al Qur’an disebutkan bahwa “Barangsiapa
yang mensyukuri nikmat, niscaya akan aku tambah nikmat. Dan barang siapa kufur
nikmat, sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. Walaupun didasarkan pada ayat
di atas, apabila tasyakuran dengan berharap bertambahnya nikmat bukan substansi
syukur itu sendiri.
Keesokan
hari setelah motor datang dari dealer, ngundang tetangga untuk ngamini do’a
dalam rangka tasyakuran beli motor. Rangkaian kegiatannya sama dengan yang
biasa dilakukan dengan niatan slametan, namun mana yang lebih baik - - Slametan
atau Tasyakuran - -
Saya
lebih condong pada slametan, dalam
kondisi menerima karunia atau musibah ( cobaan ) tetap kita berlatih untuk
berharap selamat hingga akhir hayat kita ( wala
tamutunna illa wa antum muslimuna ).
Wallahu a’lam
--DZ al Q-shud, 17/11/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar