Jumat, 21 November 2014

Gara-gara Bid’ah: Slamet (an) Berganti Nama Tasyakur (an)



“Aneh,..!!, nama Slamet diubah menjadi Tasyakur, hanya karena tidak islami dan berbau kejawen. Slamet tak bisa menggantikan tasyakur, karena akar kata dan maknanya berbeda. Slamet bila diarabkan menjadi Salim atau Muslim bukan Syakur atau Tasyakur. 
Pesan orang-orang dahulu kita diharapkan -- luru slamet -- mencari keselametan. Keselametan sendiri mempunyai hubungan kata dengan islam. Islam -- muslim -- salim -- dapat berarti damai, tunduk atau selamet.  
Tiap mendapatkan musibah atau mimpi buruk, masyarakat tertentu selalu membuat – selametan -- sekedar membuat bubur abang – putih ( merah putih ) atau golong ( nasi putih, kuang santan kuning dan telur bulat ). Yang kemudian manggil tetangga untuk ngamini doa, demi keselamatan keluarga. Bahkan tahlilan nujuh hari, matang puluh, nyatus, nyewu dan mendak taon juga istilahnya slametan. Karena mengharap keselamatan untuk si mayit agar selamat dari siksa kubur dan siksa di akhirat ( Neraka ).
Begitu pula saat beli kendaraan bermotor, naik jabatan, atau memperoleh anugerah lainnya juga mengadakan selametan. Dengan berharap saat kendaraan itu dinaiki terhindar ( selamet ) dari bencana dan musibah. Naik jabatan mungkin sebuah karunia, namun dalam jabatan penuh dengan amanah dan tanggung jawab, dengan selametan berharap agar terhindar ( selamet ) dari fitnah dan berbagai ketidak-amanah-an dari jabatan tersebut.
Menurut Ki Agus Sanyoto, awal Islam masuk ke tanah Nusantara ( Jawa ) para  juru dakwah hanya mensyaratkan tiga hal, yaitu; syahadat, sholat dan slametan. Slametan sendiri bila mengakar pada kata salima maka akan berujung pada islam. Dalam al Qur’an disebutkan “masuklah ke dalam islam secara kaffah” dan “janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan islam”. Mereka yang membuat selametan karena berharap selamet dalam kondisi apapun, saat diberikan musibah ( cobaan ) – selamet dari kekufuran – maupun saat diberikan anugerah ( bisa jadi istidroj ), --- selamet dari keangkuhan.
Nikmat -- karunia -- rejeki -- atau pemberian lain Allah swt., tidak bisa kita anggap sebagai sebuah nikmat saja. Ujian tak hanya kesengsaraan, kekayaan pun menjadi ujian karena di dalamnya juga terkandung nilai-nilai yang menjauhkan diri dari ketakwaan. Pemberian Allah swt., bagi orang-orang tertentu kadang kala dimaknai sebagai istidroj sehingga harus berhati-hati, bersyukur itu pasti namun berlindung atas keselamatan diri istidroj dan potensi dosa dari nikmat juga lebih penting. 
Bersyukur adalah memanfaatkan karunia dalam peningkatan ketaqwaan, tak cukup hanya berucap al hamdulillah saja. Dalam satu ayat al Qur’an disebutkan bahwa “Barangsiapa yang mensyukuri nikmat, niscaya akan aku tambah nikmat. Dan barang siapa kufur nikmat, sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. Walaupun didasarkan pada ayat di atas, apabila tasyakuran dengan berharap bertambahnya nikmat bukan substansi syukur itu sendiri.
Keesokan hari setelah motor datang dari dealer, ngundang tetangga untuk ngamini do’a dalam rangka tasyakuran beli motor. Rangkaian kegiatannya sama dengan yang biasa dilakukan dengan niatan slametan, namun mana yang lebih baik - - Slametan atau Tasyakuran - -
Saya lebih condong pada slametan, dalam kondisi menerima karunia atau musibah ( cobaan ) tetap kita berlatih untuk berharap selamat hingga akhir hayat kita ( wala tamutunna illa wa antum muslimuna ).
Wallahu a’lam
--DZ al Q-shud,  17/11/2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ikrar Pembuka Shalat Yang Terabaikan

Doa iftitah bukan menjadi rukun shalat, namun penting kita renungkan bagi yang mengamalkannya. Kita hanya melafalkan seperti mantra atau tah...