Mukena atau di kampung saya dikenal dengan "rukuh", merupakan pakaian khusus untuk wanita melakukan shalat. Biasanya berwarna putih, walau hingga berwarna kecoklatan seorang ibu-ibu tetap memakainya karena hanya satu-satunya yang ia miliki.
Warna Putih, lebih dekat pada kesunahan dan tidak ada pernak-pernik perbedaan satu sama lain. Seperti Pakaian Ihram yang dikenakan saat tunaikan ibadah umrah dan haji, Kaya-Miskin, Pejabat-Rakyat, Buruh-Pegawai, Karyawan-hartawan dan seabrek ragam pekerjaan, kedudukan dan kekayaan tampak tak membedakan saat berihram. Putih juga sebuah harapan agar tak hanya baju kita yang putih, melainkan diri dan hati dapat memutih. Maksudnya terhapus dari dosa-dosa dan istiqomah dalam kebaikan. Mukena juga merupakan pakaian yang dikhususkan, tidak dipakai untuk aktivitas lainnya.
Dengan alasan mobilitas, pasar merancang mukena yang dianggap simple, tanpa melepas jilbab/hijab mukena dipake "bleng" bisa shalat. Juga karena alasan praktis, masih tetap berbaju biasa hanya menjulurkan lengan baju atau menutupi punggung telapak tangan dengan tambahan asesoris tertentu orang bisa sholat. Selain itu Mukena mengalami perubahan corak, motif bahkan warna dan jenis kainnya yang tidak putih lagi. Sehingga bila kita lihat, akan tampak "blenthang-blentengnya" ( warna-warni ) perempuan yang menjadi makmum.
Masihkah kita akan tetap mempertahankan "mukena putih" ? yang terkandung niatan dalam filosofis. Ataukah dengan corak dan warna serta ramainya asesoris dan bordir yang menghiasinya ? untuk pamer kekayaan. Secara langsung mungkin tak ada niatan tersebut,..tapi - coba tanyakan pada diri anda sendiri.
Kenapa terjadi perubahan ? karena pasar mengendalikannya.
Model dan bentuk mukena yang monoton, dipandang sebagai peluang bisnis yang bagus apalagi Indonesia merupakan umat isalam terbesar di dunia. Siapakah yang diuntungkan ? Islam tidak rugi, karena begitu sempitnya Islam bila dibandingkan dengan hal yang seperti itu. Namun nilai-nilai yang terkandung dalam "idealisme mukena" semakin memudar.
Apakah melanggar syariat ? Mungkin "Tidak", tapi bagiku itu tidak baik, tidak etis bagi orang-orang yang ingin mensucikan diri karena terganjal materi. Bagiku, kebenaran harus mengandung kebaikan dan keindahan. Tidak melanggarnya syariat belum tentu baik, bila kita belajar pada pakaian ihram maka disanalah ada persamaan yang tidak hanya dilihat oleh mata namun "trenyuh" di hati. Keindahan bukan karena corak dan hiasan yang ada pada Mukena, perilaku pemakainya setelah usai menjalankan ibadah shalat.
Ah, itu kan urusan hati ? Tanyakan pada dirimu sendiri!!
Kebaikan hati akan termanifestasi dalam perilaau sehari-hari, begitu pula dengan keburukannya. Kita cukup melihat perbuatannya sehari-hari untuk menilai baik dan buruknya hati, meskipun itu menjadi otoritas Tuhan untuk menilainya, bukan kita.
Bisa saja tak hanya Mukena. Jilbab/Hijab, Pakaian, Makanan, Obat-obatan, bahkan ibadah Umroh atau Haji, santunan Yatim Piatu, dan ibadah lainnya menjadi trend karena pasar yang mengendalikannya, bukan ilmu atau pemahaman keagamaan kita yang menuntun kita melakukan semua itu.
Silakan saja dilakukan, masing-masing diri anda mempunyai alasan tersendiri yang tidak sama satu sama lainnya. (dz al Qishud )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar