Aku tak tahu kalau, dia ternyata isteri seorang yang kaya raya. Suaminya mempunyai perusahaan di Surabaya, Malang dan Bandung, bahkan akhir-akhir ini telah membeli lahan yang cukup luas di Riau untuk ditanami pohon cempaka atau kelapa sawit. Selain itu juga akan membangun peternakan ayam di lahan tersebut. Sebagai pengusaha, tentunya selalu berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya.
Walau tak menjadi yang pertama, paling tidak dapat menjadi yang utama. Kecemburuannya membawa dia merantau di tanah melayu, selama bertahun-tahun memendam rindu pada sosok yang dulu menjadi "dewa penolong" hidupnya. Cemburu mengesampingkan kerinduannya, walau harus merasakan tiap saat; sakit kepala, dada sesak dan perut sakit yang begitu sangatnya.
Hmmm, selama tiga tahun terakhir aku menemaninya. Saya menikmati semuanya; tertawanya, candanya, manjanya, bahkan tangisannya saat dia sakit dalam kesendiriannya. Bahkan kadang kala ikut terharu hingga nangis bersama. Dia tak tahu, bila sesak di dada kala dia cerita indah mengenang bersamanya, tak tahu apa yang aku rasakan. Namun saya bisa tersenyum, bahkan kadang menasehatinya hingga bincang-bincang berakhir.
Entah dia anggap apa diri saya, kadang dia cerita begitu detail kehidupannya seperti ia menceritakan pada seorang sahabatnya. Kadang menangis dan mendengarkan nasehat bahkan saya sering memaksa untuk mengikuti nasehat saya, dia menganggap seperti orang tuanya. Kadang dia rindu dan takut kehilangan dan menjadi amarah seperti pada kekasihnya.
Apapun anggapan dia, tetaplah aku sebagai teman bicara yang kadang dibutuhkan dan kadang tak dibutuhkan bahkan diacuhkan. Itu harus disadari, dia membutuhkan teman dalam kesepian dan kerinduannya. Dan tak mungkin dia memilih orang yang "papa" sementara begitu banyak sarana untuk bahagia bersama suaminya.
Setelah mengetahui cerita kehidupannya, aku berdoa untuk kebahagiannya atas kerinduannya kembali pada suaminya. Berharap dia bahagia dan menjadi yang paling utama dalam anggota keluarga suaminya. Serta dapat dikaruniai anak laki-laki sebagai penerus usaha suaminya kelak bila dewasa.
Sementara aku harus kembali pada Tuhanku, tak peduli diingat atau tidak, dirindukan keberadaannya atau tidak, dicari atau tidak. Untuk apa menanti yang tak pasti, sementara kaki ini harus terus melangkah seiring berputarnya waktu, akan menua, keriput dan bau tanah. Apakah akan tetap mengingat saat sakit dan menangis, dalam kesendiriannya ?? Mungkin tak lagi. Dia akan sibuk urus anak-anaknya, anak dari suaminya dan usaha suaminya yang cukup banyak.
Ini hanyalah persinggahan dalam perjalananku. Andai kata aku menuruti nasehat guruku untuk terus ayunkan langkah kakiku, maka sudah jauh langkahku. Tapi, ini juga merupakan tugas yang harus dilakukan untuk mengembalikan dia pada suaminya, walau harus sakit karena menjadi objek penderitaan. Akhirnya, dia sering dijenguk dan ditunggui suaminya. Aku hanya bisa tersenyum, sombong dengan doa yang aku panjatkan untuk kebahagiaannya. Kebahagiaanku adalah kesedihanku, karena tak lagi dibutuhkan, tak lagi dihubungi, tak lagi disapa dan tak lagi serta tak lagi.
Aku bahagia, kau telah kembali dan bahagia. Giliranku beranjak pergi melangkahkan kaki menuju tuhanku, menunaikan amanah yang aku bawa serta. - Selamat Berbahagia -
(alhamdulillah, bisa melanjutkan nulis cerita. mohon doanya biar dapat dibukukan )
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus