Senin, 18 April 2016

Pemimpin Budhek, Batal "Jamaahnya"

Pemimpin itu penggembala, yang menuntun gembalaannya untuk cari makan dan bila tak terlihat maka sang penggembala akan mencarinya. Bila menganut konsep "lir ilir Kanjeng Sunan", harus didasarkan pada " belimbing bergeligir lima", terserah kalian memaknainya. Artinya mereka mempunyai hubungan transendental dengan Allah dan baik kepada manusia serta makhluk yang ada di bumi. Mereka menangkap pesan langit dan menerjemahkan dalam kebijakannya.

Pemimpin memiliki watak keibuan, dia tidak akan makan sebelum anak-anaknya kenyang. Bahkan tak sungkan makan sisa anak-anaknya. Pemimpin lebih mementingkan kesejahteraan rakyatnya bukan untuk kekayaan pribadi, keluarga dan kelompoknya. Bagaimana dengan mereka yang rebutan bila ada uang alias "mata duitan", menumpuk kekayaan.?

Pemimpin bukan pe-merintah alias si tukang perintah, memimpin itu membimbing dengan keteladanan (uswah hasanah). Keteladanan harus memegang prinsip laa taquuluu maa laa taf'aluun. Pemimpin tak " budhek" mendengarkan rakyatnya, dalam konsep pemimpin salat (imam), makmum harus mengingatkan imam bila terjadi kesalahan. Karena itu makmum pun harus mengetahui konsep kepemimpinan.

Masih menganut teori kepemimpinan dalam salat. Bila pemimpin mengabaikan peringatan makmum - rakyat - maka batal kepemimpinannya. Yang demikian ini adalah pemimpin anti kritik, otoriter dan arogan. Bahkan menganggap kritik rakyat sebagai gonggongan anjing (asu njegug). Menganggap pendapat yang berbeda adalah musuh (vis a vis). Yang akan terjadi adalah pembodohan rakyat untuk sebuah "kepentingan". Makmum yang tahu saja diabaikan apalagi yang hanya ngumpul berjamaah karena berharap pahala tanpa tahu ilmunya.

Untuk itu rakyat pun harus mampu membaca isyarat langit dalam memilih pemimpin. Dalam sebuah cerita, adik Sang Hujjatul Islam - Imam al Ghazaly - tidak mau menjadi makmum (mufarraqah) karena melihat kakaknya berlumuran darah. Dalam kisah tersebut akhirnya diketahui bahwa Sang Syeikh sedang menyusun bahasan tentang haidl.

Rakyat harus mampu membaca para calon pemimpinnya, bila sandarkan pada sifat nabi SAW., harus memiliki sifat siddiq, amanah, tabligh dan fathonah. Paling tidak, meminjam istilah Gus Mus dapat memanusiakan manusia. Pemimpin yang tak memiliki sifat yang baik hendaknya tidak dipilih. Kyai Said mengatakan, pemimpin kafir yang baik dan jujur lebih baik dari pada pemimpin muslim yang zalim. Akan lebih baik lagi jika kita sebagai muslim mampu mensuplai pemimpin-pemimpin yang baik fan jujur.

Bila tak bisa menyediakan pemimpin yang baik dari kita maka kita akan menjadi penumpang di rumah sendiri. Karena tamu atau pendatang lebih paham tentang pengelolaan rumah kita, sesuai dengan ungkapan Cak Nun. Dan bisa jadi kita akan terusir dari rumah kita sendiri. (ab)

doel zemprull al Q-Shud
18/04/2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ikrar Pembuka Shalat Yang Terabaikan

Doa iftitah bukan menjadi rukun shalat, namun penting kita renungkan bagi yang mengamalkannya. Kita hanya melafalkan seperti mantra atau tah...