Minggu, 10 April 2016

Pemimpin Sami'un Bashir

Pemimpin ada karena ada yang dipimpin yaitu pegawai atau masyarakat, dan atau diamanati untuk memimpin baik dipilih oleh anggota/masyarakat maupun ditunjuk oleh pimpinan yang lebih tinggi. Jabatan politis dipilih oleh anggota/masyarakat melalui pemilihan, sedangkan jabatan birokratif diangkat melalui prestasi atau promosi. Kedua kepemimpinan tersebut mempunyai tanggung jawab masing-masing dihadapan Allah dan manusia.
Pemimpin sudah seharusnya menjadi teladan – ing ngarso sung tuladha – seperti yang dicontohkan oleh Nabi SAW. Dan bila kembali menjadi anggota masyarakat atau menjadi pegawai harus mendukung kebijakan-kebijakn konstruktif – ing madya mangun karsa – tidak “nyrimpung” dan selalu memuji dirinya serta menyalahkan kepemimpinan setelahnya. Mengingat, kecerdasan (fathanah) berada pada posisi terakhir setelah teguh dalam kebenaran (siidiq), amanah (integritas) dan mampu mengekspresikan kebenaran tersebut dalam kesesuaian perkatan dan perbuatan pimpinan (tabligh). 

Kyai kampung, biasanya bukan seorang sarjana atau lulusan universitas ternama. Mereka hanya lulusan pesantren salaf yang diajarkan oleh para kyai yang sepuh dan tak ada tendensi duniawi sebagai panglima dalam kehidupannya. Atau hanya sekedar “ngasak” ngaji dari kampung ke kampung dan mengamalkan ilmu secara istiqomah walaupun hanya sedikit.  Mereka dipercaya masyarakat, dan siap melayani selama 24 jam serta mendengarkan tetek bengek keluh kesah masyarakat. Dari persoalan memilih hari untuk hajatan, mengundang tahlilan, minta doa restu buka warung, minta air du’a, nyuwuk anak, dan lainnya.  

Lulusan perguruan tinggi dalam atau luar negeri yang menguasai seabrek teori manajemen belum cukup untuk menjadi seoarang pemimpin yang hebat di mata anak buah atau masyarakat. Teori-teori tersebut akan kandas tak bermakna bila salah dalam mendiagnosa permasalahan yang terjadi. Mendengar (al sam’a) dan melihat (al bashir) merupakan bekal kepemimpinan yang bijak. 

Mendengarkan (sam’a) adalah upaya mengetahui dan memahami yang terjadi dalam masayarakat. Mendengar bukan banyak bicara seperti halnya penampilan monolog butet, sebagai pertunjukkan unutk menceritakan atau membuat kritikan praktik kehidupan bermasyarakat. Bashiran adalah sifat Allah yang berarti Maha Melihat. Bashiran berada setelah sami’an (Sami’un – Bashir), Allah pun maha mendengarkan para hambanya. Al Qur’an adalah Kalam Allah telah dituangkan  dan diinterpretasikan Nabi SAW ke dalam perkataan dan perilaku beliau yang kita sebut sebagai sunnah. Allah memberikan potensi kita dengan al sam’a (pendengaran; pancaindera), al bashar (penglihatan: nurul bashirah atau akal) dan al af’idah (hati) untuk memahami ilmu-ilmu Allah swt. 

Levine & Crom dalam Simon & Schuster (1993:985) menuliskan bahwa keterampilan “mendengarkan” adalah satu-satunya keterampilan yang paling penting dari semua keterampilan berkomunikasi yang ada. Lebih penting dari keterampilan untuk berorasi dengan berapi-api. Lebih penting daripada suara yang penuh kuasa. Lebih penting daripada kemampuan untuk berbicara dalam beberapa bahasa. Malah lebih penting dari kemampuan menulis dengan kata-kata yang menawan. Davis & Newstorm (1989:87) menyatakan  “Nature gave people two ears, but only one tongue, which is a gentle hint that they should listen more than they talk”, dengan terjemahan bebasnya: alam memberikan kepada orang-orang dua buah telinga, namun hanya satu lidah, hal mana adalah sebuah petunjuk halus bahwa mereka harus lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Dua pernyataan tersebut menggambarkan betapa pentingnya seorang pemimpin itu menggunakan keterampilan mendengar atau lebih banyak mendengarkan dari pada berorasi.

“Blusukan” yang dilakukan sebagian pemimpin – semoga – merupakan bagian upaya untuk mendengar dan melihat langsung dari masyarakat yang kemudian membuat kebijakan untuk menyelesaikan problematika di masyarakat. Khalifah Umar ibn Khattab, rela menggendong karung gandum rakyatnya karena ingin dekat dan mengetahui keluh kesah rakyatnya atas kepemimpinannya. Bahkan beliau diam saat seorang perempuan tua mencaci kepemimpinannya tanpa beliau membalas dengan umpatan atau tindakan yang menciderai. Hingga beliau mengatakan; “apakah anda mengenal Umar ?”......”orang yang ada di depanmu adalah Umar Ibn Khattab”....hingga akhirnya perempuan tua tersebut menangis dan meminta maaf. 

Allah tidak mengedepankan watak otoriternya (iradah) untuk menciptakan manusia dan memberikan penghidupannya, melainkan dengan mendengarkan keluh kesah hamba dalam tiap doa mereka dan melihat hamba-hambanya yang paling bersungguh-sungguh dalam berusaha untuk mengubah diri mereka menjadi lebih baik. Allah al sami’un Baashir; Allah Yang Maha Mendengar serta Maha Melihat. 

Pemimpin sami’un bashir, adalah pemimpin yang lebih banyak mendengar dan melihat langsung kondisi masyarakat kemudian memperbaiki kepemimpinan dan kebijakannya untuk kemashlatan ummat atau anggotanya. Bukan pemimpin yang pandai beretorika namun nihil aksi, memuji-muji keberhasilan sistem sebagai keberhasilan dirinya dan kerusakan yang terjadi akibat anak buah atau masyarakatnya. Dia kaku dengan kekuasaan sementara yang akan dipertanggung-jawabkan atas kepemimpinannya – kullukum raa’in wakullukum mas’ulun an raa’iyatih – lebih-lebih tidak mau mendengar dan mengamati hal-hal yang terjadi sebagai indikasi masalah. 

Pemimpin tersebut layak disebut Shummun ‘Ammun, yang ditulikan dan buta karena kesombongan arogansinya. Ditulikan dengan menganggap semua orang itu bodoh dan tak lebih baik dari dirinya, sehingga apa yang disampaikan masyarakat/anggotanya tidak didengarkan. Buta, tepatnya membutakan diri dengan menganggap kemelaratan anak buah atau masyarakatnya bukan karena kepemimpinannya melainkan karena kebodohan mereka yang tidak mampu memahami dirinya. Pemimpin yang demikian akan mencelakai masyarakat atau anak buahnya, penyesalan akan dipetik saat tidak lagi memimpin dan dihisab oleh Allah swt. (abd)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ikrar Pembuka Shalat Yang Terabaikan

Doa iftitah bukan menjadi rukun shalat, namun penting kita renungkan bagi yang mengamalkannya. Kita hanya melafalkan seperti mantra atau tah...