Pemimpin ada karena ada yang dipimpin yaitu pegawai atau
masyarakat, dan atau diamanati untuk memimpin baik dipilih oleh anggota/masyarakat
maupun ditunjuk oleh pimpinan yang lebih tinggi. Jabatan politis dipilih oleh anggota/masyarakat
melalui pemilihan, sedangkan jabatan birokratif diangkat melalui prestasi atau
promosi. Kedua kepemimpinan tersebut mempunyai tanggung jawab masing-masing dihadapan Allah dan manusia.
Pemimpin sudah seharusnya menjadi teladan – ing ngarso
sung tuladha – seperti yang dicontohkan oleh Nabi SAW. Dan bila kembali
menjadi anggota masyarakat atau menjadi pegawai harus mendukung
kebijakan-kebijakn konstruktif – ing madya mangun karsa – tidak “nyrimpung”
dan selalu memuji dirinya serta menyalahkan kepemimpinan setelahnya. Mengingat,
kecerdasan (fathanah) berada pada posisi terakhir setelah teguh dalam kebenaran
(siidiq), amanah (integritas) dan mampu mengekspresikan kebenaran
tersebut dalam kesesuaian perkatan dan perbuatan pimpinan (tabligh).
Kyai kampung, biasanya bukan seorang sarjana atau lulusan
universitas ternama. Mereka hanya lulusan pesantren salaf yang diajarkan oleh
para kyai yang sepuh dan tak ada tendensi duniawi sebagai panglima dalam
kehidupannya. Atau hanya sekedar “ngasak” ngaji dari kampung ke kampung dan
mengamalkan ilmu secara istiqomah walaupun hanya sedikit. Mereka dipercaya masyarakat, dan siap
melayani selama 24 jam serta mendengarkan tetek bengek keluh kesah masyarakat.
Dari persoalan memilih hari untuk hajatan, mengundang tahlilan, minta doa restu
buka warung, minta air du’a, nyuwuk anak, dan lainnya.
Lulusan perguruan tinggi dalam atau luar negeri yang
menguasai seabrek teori manajemen belum cukup untuk menjadi seoarang pemimpin
yang hebat di mata anak buah atau masyarakat. Teori-teori tersebut akan kandas
tak bermakna bila salah dalam mendiagnosa permasalahan yang terjadi. Mendengar
(al sam’a) dan melihat (al bashir) merupakan bekal kepemimpinan yang bijak.
Mendengarkan (sam’a) adalah upaya mengetahui dan memahami
yang terjadi dalam masayarakat. Mendengar bukan banyak bicara seperti halnya
penampilan monolog butet, sebagai pertunjukkan unutk menceritakan atau membuat
kritikan praktik kehidupan bermasyarakat. Bashiran adalah sifat Allah yang
berarti Maha Melihat. Bashiran berada setelah sami’an (Sami’un – Bashir), Allah
pun maha mendengarkan para hambanya. Al Qur’an adalah Kalam Allah telah
dituangkan dan diinterpretasikan Nabi
SAW ke dalam perkataan dan perilaku beliau yang kita sebut sebagai sunnah. Allah
memberikan potensi kita dengan al sam’a (pendengaran; pancaindera), al bashar
(penglihatan: nurul bashirah atau akal) dan al af’idah (hati) untuk memahami
ilmu-ilmu Allah swt.
Levine & Crom dalam Simon & Schuster (1993:985) menuliskan
bahwa keterampilan “mendengarkan” adalah satu-satunya keterampilan yang paling
penting dari semua keterampilan berkomunikasi yang ada. Lebih penting dari
keterampilan untuk berorasi dengan berapi-api. Lebih penting daripada suara
yang penuh kuasa. Lebih penting daripada kemampuan untuk berbicara dalam
beberapa bahasa. Malah lebih penting dari kemampuan menulis dengan kata-kata
yang menawan. Davis & Newstorm (1989:87) menyatakan “Nature gave people two ears, but only one
tongue, which is a gentle hint that they should listen more than they talk”, dengan
terjemahan bebasnya: alam memberikan kepada orang-orang dua buah telinga, namun
hanya satu lidah, hal mana adalah sebuah petunjuk halus bahwa mereka harus
lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Dua pernyataan tersebut
menggambarkan betapa pentingnya seorang pemimpin itu menggunakan keterampilan
mendengar atau lebih banyak mendengarkan dari pada berorasi.
“Blusukan” yang dilakukan sebagian pemimpin – semoga – merupakan
bagian upaya untuk mendengar dan melihat langsung dari masyarakat yang kemudian
membuat kebijakan untuk menyelesaikan problematika di masyarakat. Khalifah Umar
ibn Khattab, rela menggendong karung gandum rakyatnya karena ingin dekat dan
mengetahui keluh kesah rakyatnya atas kepemimpinannya. Bahkan beliau diam saat
seorang perempuan tua mencaci kepemimpinannya tanpa beliau membalas dengan
umpatan atau tindakan yang menciderai. Hingga beliau mengatakan; “apakah anda
mengenal Umar ?”......”orang yang ada di depanmu adalah Umar Ibn Khattab”....hingga
akhirnya perempuan tua tersebut menangis dan meminta maaf.
Allah tidak mengedepankan watak otoriternya (iradah)
untuk menciptakan manusia dan memberikan penghidupannya, melainkan dengan
mendengarkan keluh kesah hamba dalam tiap doa mereka dan melihat hamba-hambanya
yang paling bersungguh-sungguh dalam berusaha untuk mengubah diri mereka menjadi
lebih baik. Allah al sami’un Baashir; Allah Yang Maha Mendengar serta
Maha Melihat.
Pemimpin sami’un bashir, adalah pemimpin yang lebih
banyak mendengar dan melihat langsung kondisi masyarakat kemudian memperbaiki
kepemimpinan dan kebijakannya untuk kemashlatan ummat atau anggotanya. Bukan
pemimpin yang pandai beretorika namun nihil aksi, memuji-muji keberhasilan
sistem sebagai keberhasilan dirinya dan kerusakan yang terjadi akibat anak buah
atau masyarakatnya. Dia kaku dengan kekuasaan sementara yang akan
dipertanggung-jawabkan atas kepemimpinannya – kullukum raa’in wakullukum mas’ulun
an raa’iyatih – lebih-lebih tidak mau mendengar dan mengamati hal-hal yang
terjadi sebagai indikasi masalah.
Pemimpin tersebut layak disebut Shummun ‘Ammun, yang ditulikan
dan buta karena kesombongan arogansinya. Ditulikan dengan menganggap semua
orang itu bodoh dan tak lebih baik dari dirinya, sehingga apa yang disampaikan
masyarakat/anggotanya tidak didengarkan. Buta, tepatnya membutakan diri dengan
menganggap kemelaratan anak buah atau masyarakatnya bukan karena
kepemimpinannya melainkan karena kebodohan mereka yang tidak mampu memahami
dirinya. Pemimpin yang demikian akan mencelakai masyarakat atau anak buahnya,
penyesalan akan dipetik saat tidak lagi memimpin dan dihisab oleh Allah swt. (abd)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar