Pidato AHOK di depan warga Kepulauan Seribu menjadi sebuah kegaduhan, karena Sang Gubernur menyitir sebuah ayat yang dianggap digunakan untuk melakukan "kebohongan" publik dalam memilih pemimpin. Surat al Maidah ayat 51 adalah teks absolut yang diributkan tafsirannya, sedangkan munculnya pembahasan tersebut adalah sebuah konteks yang tak bisa dilepaskan dari hajat pilkada khususnya di Propinsi DKI Jakarta.
Bila kita ngaji kitab kuning, maka pembahasan akan runut dari mukaddimah hingga penutup atau disebut dengan pembelajaran tuntas (mastery learning). Kemunculan pembahasan muslim untuk memilih pemimpin muslim ditengarai terjadi Jiping (ngaji kuping) di beberapa majelis taklim dan tulisan-tulisan di media sosial. Pemahaman keagamaan seseorang, masyarakat atau kelompok tertentu akan menentukan sikapnya terhadap konsep "awliya" tersebut.
Kekhawatiran
masyarakat mayoritas agama/etnik tertentu di suatu daerah terhadap
minoritas yang memimpin menjadi sangat seksi untuk dikemas dengan
isu-isu SARA. Misalnya, seorang kristiani seperti AHOK sebagai Gubernur di Jakarta yang mayoritas penduduknya beragama islam, dan bisa jadi merupakan sebuah kebanggaan bagi umat seagama dan etnisnya sebagai suatu pencapaian yang gemilang. Seperti halnya kita sebagai muslim bangga terhadap Sadiq Khan menjadi Gubernur Muslim pertama di London.
Terlepas dari semua keributan yang kemudian membelah umat islam dalam perbedaan tafsir tentang "awliya" pada ayat tersebut yang "seakan-akan" ada dukung mendukung terhadap calon tertentu dalam Pilkada DKI. Pilkada adalah proses demokrasi yang disepakati, Bupati/Walikota/Gubernur terpilih adalah yang dikehendaki Tuhan dan masyarakat pemilihnya. Bila rancang bangun suatu daerah telah ditentukan dalam jangka pendek, menengah dan panjang maka posisi kepala daerah hanya sebagai kendali dan pelanjut dari program pembangunan.
Pilkada merupakan pesta rakyat untuk memilih pemimpin yang ditawarkan oleh partai pengusungnya. Partai ibarat sebagai pedagang akan mencari barang bagus yang dibutuhkan masyarakat hingga melakukan pengemasan (packaging) yang bagus pula untuk menarik minat pembeli (masyarakat). Mulai dari attitude, pendidikan, agama, pro poor policy, dan ide-ide progressif serta lainnya akan mengemas sosok yang akan ditawarkan oleh partai pengusungnya. Misalnya, istilah blusukan menjadi trend saat Pak Jokowi menjadi Cagub DKI saat itu, hingga tiada sekat antara beliau dengan masyarakat yang kemudian menarik hati masyarakat yang rindu terhadap sosok pemimpin yang demikian.
Bagi saya, masyarakat DKI lah yang harus menentukan siapa sosok Gubernur yang dapat menciptakan rasa aman, nyaman, serta mensejahterakan bagi kehidupan mereka. Partai hanya sebagai alat untuk meyakinkan masyarakat, bahwa yang dia usung adalah calon pemimpin terbaik yang dapat menciptakan rasa tersebut. Mereka akan berupaya dengan berbagai cara untuk memenangkan calonnya dalam pertarungan Pilkada.
Saya yakin sebagaian besar masyarakat DKI terdidik dan tidak buta politik, perdebatan dan kegaduhan dalam proses Pilkada akan selesai setelah pesta ini selesai, kecuali menyerempet persoalan-persoalan yang mempunyai konskuensi hukum. Pilkada adalah pestamu, gunakan hak-hakmu untuk cerdas dan fokus memperjuangkan diri anda sebagai masyarakat yang akan memperoleh imbas dari kebijakan dengan memilih calon yang dianggap layak untuk memperjuangkan nasib anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar