Ada orang yang suka menanam biji atau bibit pohon berkayu besar. Dengan
sabar penanam pohon itu memiliki harapan yang lebih luas, agar lingkungannya
rindang, sumber air sumur, ada burung prenjak atau kutilang yang bercuitan
sambil mengais ulat di pepohonan, dan pohon-pohon itu kelak berbuah untuk dimakan.
Mereka tak hanya berbagi antar sesama manusia, namun codot, lalat buah, ulat
buah, tikus pohon dapat menikmati buah tanaman tersebut. Disamping itu ada
pencari kayu bakar yang mengais ranting kering, tumbuh jamur, dan perdu di
sekitar pohon dan akhirnya akan menjadi rumah besar ekosistem baru yang saling
menjalankan fungsi untuk keberlangsungan hidup.
Gagasan dan tindakan penanam pohon itu dianggap tak masuk akal.
Mereka dibully karena bertahun-tahun belum memanen buah dari biji yang
ditanamnya. Bully-an itu muncul karena kedunguan penanam atau penerima gagasan
itu sempit otaknya, dendrit dan norit-nya belum berkembang karena
menutup tafakkur atas diri dan lingkungannya. Itu pun terjadi dengan Nuh
as., yang ditertawakan dan diejek oleh kaumnya karena membuat kapal di musim
kemarau. Nuh as hanya menjalankan perintah langit dan akhirnya menyelematkan
generasi makhluk hidup hingga saat ini dan mendatang.
Tak banyak orang yang sabar menanam biji atau bibit pohon berkayu
atau mengambil tindakan seperti Nuh as. Mereka tidak populis, tidak
dielu-elukan oleh masyarakat dan belum
tentu merasakan buah, kayu, atau dahan hasil tanamannya. Bisa saja, saat
pohon-pohon itu besar dan berbuah, penanam itu sudah meninggal dunia.
Orang-orang seperti ini memilih tidak terkenal, tidak muncul dipermukaan hiruk
pikuknya politik, pemerintahan, masyarakat atau menjadi kiai selebritis. Mereka
tetap istiqamah dengan gagasan dan tindakannya untuk menyelamatkan kehidupan
dengan aman dan nyaman. Mari sejenak kita mengingat atau membaca kembali tindakan-tindakan
demikian.
Khidhir as. membocori perahu, membakar rumah dan membunuh anak
kecil sebagai suatu tindakan yang tidak masuk akal Nabi Musa as. Dan Musa
dilarang untuk memprotes tindakan-tindakan tersebut. Nuh as., membuat kapal di
musim kemarau, Ayub as yang mengeluarkan belatung dalam lukanya saat akan
bersuci dan memasukkan kembali setelah selesai beribadah kepada Allah swt. Di
tingkat para kiai, kita bisa membaca cerita Kiai Hamim Jazuly (Gus Miek) yang
selalu mengunjungi dunia “hitam”, bahkan beliau dianggap sesat karena
tindakannya dengan keluar masuk kompleks pelacuran. Gus Dur, anjang sana ke
negara-negara yang dianggap oleh rival politiknya sebagai bentuk kesempatan
untuk jalan-jalan ke luar negeri.
Orang-orang seperti itu, meminjam istilah Gus Dur; “menjadi
pencegah kebakaran dibandingkan menjadi pemadam kebakaran”. Pencegah kebakaran,
sudah mengetahui potensi kebakaran lalu mereka mencegahnya. Sedangkan “pemadam
kebakaran”, mereka sudah mengetahui akan terjadi kebakaran, namun dibiarkan terbakar
kemudian mereka melakukan aksi heroik untuk memadamkan apinya. Siapa yang
dielukan? Siapa yang akan menjadi pahlawan? Siapa yang akan memperoleh jasa?
Mereka adalah sang pemadam, namun masyarakat luas yang dirugikan atas perilaku
yang hanya menguntungkan dirinya sendiri.
Berbeda dengan para penanam biji pohon berkayu, ada penanam bayam,
kangkung, kucai, sawi, selada dan sayuran serta buah-buahan perdu. Mereka memilih
menanam sayuran dan buah perdu, karena lebih cepat dipanen hasilnya. Sawi,
bayam, kangkung dan sayuran lainnya hanya membutuhkan 25-30 hari untuk panen. Tanaman
buah perdu seperti cabai, tomat, dan kacang panjang dapat dipanen setelah usia
35-40 hari. Hasil tanamnya dimanfaatkan oleh orang lain sebagai sumber protein,
vitamin dan mineral bagi tubuh.
Menganologikan
para penanam kangkung dan sejenisnya, ada orang-orang yang memiliki mental
demikian. Mereka akan cepat meminta imbalan atas tindakan dan perannya di
masyarakat, kelompok, partai, birokrasi dan lainnya. Mental hipokirisi ini sangat
mengedepankan apa yang saya dapat dari kontribusinya dengan cepat. Mereka tidak
tahan truko, topo, ngelih, dan tirakat dalam waktu
yang panjang. Mereka harus berbuka dan makan enak setelah 35 hari menanam sayur
dan buah perdu kebaikannya. Dan akan mengulangi daur aktivitas hingga akhir
masanya dan seterusnya mengikuti siklus kehidupannya. Mereka ingin merengguk
hasil tanamannya, bahagia disanjung-sanjung, dicium tangannya dan diberi
hadiah.
Apa yang
ditanam tak kuat atau tahan diterpa hujan dan badai karena akarnya tidak kokoh,
pohon serta daunnya mudah busuk. Ide dan gagasannya hilang setelah mendapatkan
upahnya, dan generasinya hilang karena busuk terendam gejolak jaman tercerabut
dari akarnya dan terombang-ambing. Pemberi ide dan gagasan tidak bisa menjadi
penopang mereka, karena meninggalkannya demi untuk berbuka atau karena rakus
oleh upah yang dikejarnya.
Selain dua itu, ada pula yang bermental tengkulak. Mereka kesana-kemari
mencari dan membeli dagangan bahkan kalau perlu ngutil, menipu, atau “merampok”
kemudian menjualnya dengan klaim sebagai produknya. Dalam pertanian kita
mengenal sistem ijon untuk mendapatkan barang, tengkulak menawarkan pinjaman
yang mencekik para petaninya. Orang-orang yang bermental seperti ini tidak
memilki orisinal ide dan gagasan, bahkan mereka tak berniat memiliki produk
sama sekali. Membeli murah bahkan sangat murah dengan dalih ekonomi lesu,
inflasi, kurs rupiah merosot dan beragam alasan untuk mendapatkan barang yang
sangat murah dari petani atau produsen rumahan yang hanya tahu bagaimana
menanam dan membuat hasta karyanya.
Mereka mengambilnya tanpa rasa kemanusiaan, tanpa empati
kehidupannya, tanpa welas asih, hanya nafsu untuk memperoleh keuntungan besar.
Membeli dengan murah dan menjualnya dengan mahal, tanpa ada jaminan kualitas
produknya. Kulitas produk dibebankan pada para petani dan perajin rumahan yang di-pressure
untuk menghasilkan produk yang bagus. Mereka akan menyalahkan petani yang
bersusah payah ngrumat tanamannya, dan para pengrajin rumahan yang telaten
untuk memperoleh sesuap nasi melangsungkan kehidupannya. Mereka akan cuci
tangan dan menyalahkan sekitarnya, bahkan Tuhan pun bila perlu akan dipersalahkan
karena ibadahnya tak memiliki atsar pada kepentingan duniawinya.
Dari ketiga tipe di atas, mana yang paling cocok dengan diri kita,
sebagai penanam biji pohon, penanam kangkung atau tengkulak?
(Abdul Basid)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar