Sabtu, 31 Mei 2025

Haji Abidin pun Haji Panggilan

Petugas Haji DKI Jakarta 
Tahun 2019
Haji Abidin istilah bagi mereka yang berhaji atas biaya dinas (abidin) atau mereka yang ditugaskan untuk membantu kesuksesan penyelenggaraan ibadah haji di arab saudi. Kita bisa melihat kalimat talbiyah, labbaikallahumma labbaik yang artinya aku memenuhi panggilanmu ya Allah, aku memenuhi panggilanmu. Mereka di sela-sela melayani, mereka diberi kesempatan untuk melakukan haji sambil melayani jamaah. Semua petugas di kerahkan di wilayah arafah, muzdalifah dan mina membantu kelancaraan jamaah, mengikuti rangkaian ibadah haji.

Bagaimana dengan anggapan nyinyir, yang mengatakan mereka yang diberangkatkan sebagai petugas karena kedekatan dengan pimpinan. Pada prinsipnya penyelenggara ibadah haji melakukan rekrutmen petugas haji dengan syarat dan ketentuan tertentu termasuk syarat kesehatan sebagai petugas baik petugas kloter maupaun PPIH di Arab Saudi. Petugas haji tidak hanya dari Kementerian Agama, ada dari TNI, Polri, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kesehatan dan kementerian dan lembaga lainnya.

Tahun 2019, Kanwil Kementerian Agama yang memiliki embrkasi dijadwalkan melakukan kegiatan monitoring penyelenggaraan haji di Arab Saudi. Semua kelompok terbang (kloter) sebagian besar diberangkatkan, mendadak ada kebijakan dari Pemerintah Arab Saudi memberikan kuota tambahan sebesar 10.000 jamaah. Uang operasional untuk membantu pengawalan kuota tambahan diambilkan dari anggaran monitoring Kepala Kanwil Kementerian Agama dan lainnya. Akhirnya mereka tidak diberangatkan untuk monitoring; syarat kesehatan OK, syarat keuangan batal karena direvisi.

Kedekatan tidak pasti berpotensi diberangkatkan sebagai petugas. Ada yang tertunda diberangkatkan sebagai petugas, kemudian diberangkatkan bukan karena kedekatan, melainkan karena tugas dan fungsinya. Saat itu ada rumor orang dekat tidak lolos seleksi di tingkat pusat, kemudian mengikuti seleksi di tingkat bawah, juga tertolak. Ada teman yang katanya memiliki kedekatan dengan salah seorang pejabat, tetapi tidak lolos  seleksi. Profesionalisme dalam pelayanan tetap harus dikedepankan agar para jamaah sempurna ibadah hajinya dan mendapatkan kemabruran, begitu pula dengan petugasnya. 

Saya meyakini, baik jamaah yang berangkat menunaikan ibadah haji dan petugas adalah panggilan. Petugas yang berangkat dipanggil Allah untuk melayani tamu-tamunya (dhuyufurrahman) dengan baik. Apakah mereka kemudian menjadi mabrur atau tidak, tergantung masing-masing dalam menjalankan rukun dan wajib haji serta sunahnya. Mereka juga harus bisa memanifestasikan training mabrur saat hajian saat kembali ke tanah air.

Jumat, 30 Mei 2025

Petugas Tersesat Abaikan Adzan

Salah satu Bus Rombongan dari Madinah   
Menuju Makkah

Setelah menempuh perjalanan dari Madinah, sampai di Makkah istirahat untuk persiapan menunaikan umrah wajib dan thawaf qudum di malam hari. Jamaah menunaikannya sesuai dengan rombongan masing-masing, kami hanya menyarankan habis isya’ suasana lebih adem. Kami ikut rombongan yang akan ke masjidil haram di jam 11 malam, agar bisa langsung ikut jamaah subuh.Setelah menjalankan rangkaian peribadatan, pas adzan pertama sebelum subuh. Karena lumayan lelah, Kami berempat, 3 petugas dan 1 jamaah memilih untuk kembali ke maktab menunaikan shalat subuh di maktab, sembari istirahat. Kami berjalan menuju terminal Syib Amir, dan naik bis sesuai dengan nomor yang rutenya ke arah maktab.

Sambil ngobrol dan bercengkrama, tiba-tiba bis yang seharusnya belok ke kiri melewati depan maktab kami, belok ke kanan. Kami kaget dan langsung, memberikan kode untuk turun bis. Kita diturunkan kurang lebih 1,5Km harus jalan ke maktab kami, sambil tertawa berempat.

Petugas A  : “Syukurin, dah dipanggil adzan malah kabur….hahaha”

Petugas B   : “langsung kena tegooor tuh….. haha”

Jamaah       : “kitanya saja yang kelewatan,….dah adzan malah kabur,…wkwk”

Petugas C   : ”kok bisa yaa….”

Kami semua sadar dan menertawakan diri sendiri sebagai bentuk kedunguan kita yang tidak langsung ikut jamaah shalat subuh di masjidil haram. Mungkin tidak kita ungkapkan dengan entheng mempunyai perhitungan sendiri untuk shalat di maktab. Kami sampai di kamar tetap tertawa menertawakan diri sendiri, “mosok..! petugas kok tersesat…..Hahahha”

Setelah Mina Kembali Ke Setelan Awal

Mas Yudi terlelap di balik pintu bis
perjalanan Mina ke Maktab

Selama berhaji, kita dilatih untuk menjaga diri dari perbuatan rafats, fusuq dan jidal, faman faradha fihinna al-hajja falaa rafatsa wala fusuqa wala jidaala fi al-hajj. Ketiganya merusak ibadah haji. Rafats meruapakan perkataan atau perbuatan yang mengarah pada nafsu birahi, cabul dan hubungan seksual serta pornografi. Fusuq merupakan perbuatan maksiat (fasik) seperti mencaci-maki, takabbur atau sombong, hasud, zalim, fasad (merusak) atau perbuatan dapat menodai akidah dan keimanannya kepada Allah swt. Jidal, merupakan perbuatan berbantah-bantahan (poro-padu), memicu emosi orang lain, dan merasa diri paling benar. Bila sukses selama empat puluh hari menjaga perbuatan tersebut selama berhaji, Insyaallah akan mendapatkan kemabruran.

Jamaah saat awal sampai di tanah suci, mereka masih santun dengan menahan diri untuk tidak melakukan tindakan atau ucapan yang masuk dalam tiga larangan tersebut. Mereka masih menikmati karunia sebagai dhyufurrahman, untuk santun di rumah tuan ruman (haramain). Mereka juga tidak mau hajinya batal gegara tiga perbuatan tersebut. Gelombang I yang lebih dulu ke Madinah mempersiapkan diri untuk ambil miqat menuju Makkah, semua masih baik-baik saja hingga wukuf di Arafah.

Kondisi yang akan memicu emosi saat bis-bisa mengangkut jamaah dari hotel ke Arafah, alhamdulillah saat itu jamaah rapi antri sesuai yang kita sepakati. Mas Dody dan Mas Azam bilang; “jamaah Kloter Bapak yang paling rapi antri, dibandingkan kloter lain” di sektor 4 Makkah. Orang akan berebut naik ke bis agar cepat sampai di Arafah atau takut ketinggalan.

Hampir ribut, saat rombongan terakhir mau naik bus. Tiba-tiba kondektur mengatakan, pengangkutan jamaah akan dilakukan kembali setelah selesai shalat Jumat (jam 1 siang waktu Makkah). Kita negosiasi tidak berhasil, jamaah kita dorong kembali ke aula hotel untuk persiapan shalat Jumat, sudah pada ngedumel dan saya pura-pura budek saja sambil melayani. Lima menit kemudian bus kembali lagi, kita diminta segera naik, ributlah kembali.

Jamaah     : “bikin capek saja, sudah naik lift disuruh turun lagi”

Jamaah 2  : “sudah, ikuti saja. Nanti malah ketinggalan, tidak ngelah-ngeluh”. Mereka saling mengingatkan sesama jamaah.

Crowdit di Arafah, Musdalifah dan Mina, serta di tengah perjalanan, katerlambatan akomodasi, orang ngga jelas sendiri, jamaah hilang dan faktor lainnya akan memicu emosi jamaah. Para Petugas harus mengendalikan samudera kesabarannya dalam melayani jamaah dengan berusaha maksimal dengan penuh kepasrahan. Mereka masih bisa saling mengingatkan, sebab proses haji itu yaa di Armuzna (wukuf di Arafah, Mabid di Muzdalifah dan Mina).

Selesai Mabid di Mina ada peristiwa menarik, jamaah diangkut enam bis, saya, Ustadz Heri dan Mas Yudhi menjadi tim sapu ranjau. Dalam bis perjalanan ke hotel petugas kesehatan telpon:

Bu Dar     : “Ketua, bus kita nyasar dan masuk satu jalur lorong lawan arah”

                   “Hampir ribut dengan pemilik mobil yang diserempet spionnya”.

Saya         : “Ada siapa saja di rombongan?”

Bu Dar     : “si A, si B, dan lainnya”

Saya         : “Dinikmati saja dan sampai bertemu di hotel dengan selamat”

Bus terakhir lebih dahulu sampai di maktab, dibandingkan bisa kedua yang nyasar dan sedikit drama perjalanan.

Bersungguh-sungguhlah dalam menjaga tiga larangan rafats, fusuq dan jidal selama perjalanan haji anda. Kita akan diuji melalui pasangan, teman, anak, jamaah dari kloter dan negara lain. Penting melakukan kendali diri tiga laranangan tersebut, semoga mendapatkan kemabruran diri dengan ditandai tebaran kebaikan setelah hajian.

Haji Adalah Panggilan

        Gambar: Pak Nasib & dr. Rian       
Ibadah haji merupakan rukun islam yang kelima, bagi mereka yang mampu (istitho’ah) baik kesehatan maupun sarana untuk sampai ke haramain. Orang kampung menyikapi enteng; “yen wis diundang, wancine berangkat”. Sedemikian itu keyakinan masyarakat kampung, meski di kampung yang lain menjalankan ibadah haji harus menjual sawah dan kebon. Setelah menjadi Pak Haji, maka derajat sosial menjadi lebih tinggi, minimal kalau kenduren dapat dua berkat…heee.

Mampu (istitho’ah) yang pertama adalah melunasi biaya perjalanan, atau dibiayai oleh orang lain. Orang kaya belum tentu terketuk hatinya untuk mendaftarkan diri untuk berhaji. Ada orang kaya yang sudah dipanggil pelunasan oleh Kementerian Agama, tidak mau melunasi padahal banyak orang yang ingin segera menunaikan ibadah haji. Dia takut dengan cerita-cerita mistis para jamaah saat di haramain. Sementara seorang marbot masjid, tiba-tiba dikabari berangkat haji secara mendadak dibiayai oleh orang lain. Ada orang tak berpunya menabung seperak-dua perak dan akhirnya berangkat haji..

Mampu (istitho’ah) kedua, adalah sehat jasmani dan ruhani ditentukan oleh puskesmas atau rumah sakit. Pun demikian banyak resiko tinggi dan memiliki riwayat sakit bisa diberangkatkan, apakah itu dispensasi pemerintah sebab antrian panjang atau memang Allah yang memanggil untuk menjadi tamunya. Labbaikallahumma hajjan wau mratan, aku penuhi panggilanmu ya Allah untuk berhaji dan umrah.

Pak Nasib kloter 14 tertunda pemberangkatannya karena sakit, beliau berusia kurang lebih 80-an tahun. Beliau sendirian dan akhirnya berangkat dititipkan di kloter 19.

Dr. Rian      : “Pak Ketua, belaiu seharus tidak diberangkatkan, Pak. Saturasi oksigennya                                    rendah, tak mungkin layak terbang sebab beresiko tinggi”

Ketua            : “Kita hanya dititipi, dok. Bila Allah memanggilnya, Insyaallah berangkat, dan

                           bila tidak, pasti akan terkendala di pemeriksaan”

Akhirnya Pak Nasib jadi berangkat dengan kami ke Madinah terlebih dahulu dan saat di Makkah dikembalikan ke kloter semula.

Dalam cerita yang lain, di tahun yang sama. Ada seorang perempuan batal berangkat dua kali pemberangkatan haji (2 tahun), dan di tahun 2019 kondisinya masih sama, tidak memungkinkan secara medis untuk berangkat haji. Kemudian ada seorang alim memberikan saran kepada suaminya agar memohon kepada Allah, karena Dia yang mengundang sevagai tamunya (dhuyufurrahman). Saran tersebut dilakukan, dan rekomendasi medis perempuan tersebut layak terbang untuk menunaikan ibadah haji. Sedari kedatangan hingga pelaksanaan wukuf, perempuan itu sehat wal afiyat. Selesai pelaksanaan wukuf perempuan tersebut masuk rumah sakit seperti sedia kala saat di Indonesia, tak berselang lama meninggal dunia.

Dalam cerita lainnya penderita TB tulang, mendapatkan rekomendasi dari salah satu rumah sakit di Jakarta Timur karena saat diperiksa oleh tim medis dinyatakan sehat dan bisa berangkat menunaikan haji. Setelah di Makkah terdeteksi TB tulang, yang bersangkutan di karantina hingga kepulangannya. Ibadah hajinya dikawal oleh tim medis, wukuf dalam pengawasan tim medis. Setelah dipulangkan di penerbangan terakhir bersama petugas, sesampai di Indonesia dinyatakan sehat, sembuh dari penyakitnya.

Keyakinan orang kampung tentang haji adalah panggilan itu juga tidak mengada-ada, banya sekali kejadian yang mengarah pembenaran tersebut. Penulis cerita pun tidak menyangka berangkat ke tanah suci, padahal sudah tidak mau urusi diterima atau tidak menjadi pelayan tamu Allah. Ada banyak orang yang mendaftar hingga sembilan kali, namun tak lolos. Rasa ga tega dan ga layak, mengurungkan harapan tersebut. Mereka yang berangkat dan bertugas. Pesan isteri; “Mas, mpean itu dikon mangkat, dienteni ning kono” (wallahu a’lam).

Kamis, 29 Mei 2025

Bertemu Setelah Wafat

Gb. Di Depan Kantor Urusan Haji Indonesia Makkah 

Dini hari waktu Makkah saat itu mendapatkan pesan wattshap, mengabarkan wafatnya Mbah Moen. Bus shalawat sudah tidak lakukan layanan, transportasi yang bisa digunakan adalah taksi menuju Kantor Urusan Haji Indonesia di Makkah, tempat Mbah Moen disemayamkan. Saat itu saya langsung menghubungi isteri, kemudian disarankan untuk menuju tempat persemayaman Mbah Moen. Isteri mengatakan; “Mpean diminta ke Sarang sampai saat ini belum dilakukan, mumpung berada di Makkah, temui Mbah Moen!”, seraya menyuruh dengan rasa kesel terhadap saya.

Kenapa isteri menyuruh demikian, pernah suatu malam isteri bermimpi didatangi seseorang yang sepuh, menggunakan tongkat dan bersorban hijau.

Isteri           : “Jenengan sinten, Mbah?”

Sesorang    : “Saya Maemoen”

Isteri           : “Jarene taksih gerah?”

Sesorang    : “nggih, yen ra dikongkon rene Sahal nggih mboten mriki”

                      (Sebelum mimpi bertemu Mbah Moen, isteri bermimpi didatangi Mbah Sahal)

Setelah memberikan nasihat tentang merawat keluarga, yang kurang lebih menasehatkan “bila ingin anak-anakmu baik, shaleh-shalehah, perbaiki perilakumu dan suamimu”, Mbah Mon kemudian berpamitan pulang.

Sesorang    : “Wis yaa…saya mau pulang, kapan-kapan dolan ke Sarang”

Isteri           : “Nggih …Insyaallah Mbah”

Setelah saya pulang dari Jakarta, sebagai perantau dengan julukan PJKA (pulang jumat kembali ahad), isteri cerita mimpi tersebut.

Isteri           : “Orang itu siapa sih, Mas?”

Saya           : “Ciri-cirinya seperti apa?”

Isteri kemudian menceritakan ciri-ciri detail yang mengarah pada sosok Mbah Maimoen Zubair. Saya searching foto beliau di google dan tunjukkan ke isteri, dan isteri menjawab “iya, betul”. Saat itu yang saya dengar Mbah Moen sedang gerah (sakit) dan dalam mimpi isteri juga mengatakan demikian (wallahu a’lam).

Mimpi tersebut yang membuat semangat menuju Kantor Layanan Haki di Makkah, dan sesampainya disana, saya menunggu uyel-uyelan di depan pintu yang secara bergantian dibuka-tutup bagi para pelayat yang rata-rata santri beliau. Saya ditemani petugas pembimbing haji kloter 19 dari Jakarta Timur dan salah satu jamaah.

Setelah masuk, langsung menuju Mbah Moen yang tengah banyak orang menshalatkannya. Saya duduk tepat di samping kepala beliau, menunduk sambil menangis ngeracau ngomong ga jelas. Saya tidak menshalatkan beliau karena merasa malu saja, beliau seorang wali saya malu turut menshalatkan. Setelah cukup lama duduk, pundak saya ditepuk teman yang saya pikir sudah meninggalkan saya (berharap begitu) untuk leluasa ikut mengantarkan Mbah Moen.

Saya beranjak menuju pintu belakang, bertemu dengan anggota dewan HBR yang menawari ikut dalam ambulan yang mengantarkan ke Ma’la. Saya menolak, dengan alasan masih harus mengurus jamaah, jangan sampai jamaah saya terlantar Pak Kaji, dan saya pamitan kembali ke hotel. Saya sudah merasa senang ditemui beliau meski tanpa nasihat dari lisan beliau, dan merasa tak pantas berada dalam kerumunan orang-orang baik disana. 

Ada makna dan nasihat yang kami dapat dari peristiwa tersebut, baik yang melalui mimpi maupun pertemuan setelah beliau wafat. Andaikata kami sowan saat beliau masih hidup, akan banyak nasihat dan doa kebaikan untuk kami dan anak-anak kami. Kebanggan kami beliau dikenal sebagai min auliyaillah yang sangat teduh dalam membimbing umat (wallahu a’lam)


Ikrar Pembuka Shalat Yang Terabaikan

Doa iftitah bukan menjadi rukun shalat, namun penting kita renungkan bagi yang mengamalkannya. Kita hanya melafalkan seperti mantra atau tah...