Miris saat melihat lingkungan sekolah yang kotor, kumuh, sampah berserak dan di beberapa tempat ditumbuhi rumput dan semak belukar. Kepala sekolah dan guru gagal menerapkan materi ajar untuk membangun tanggung jawab terhadap masyarakat sekolah yang membiarkan lingkungannya kotor, kumuh dan jorok. Kepala sekolah disibukkan dengan rapat dan rapat, sedangkan guru hanya fokus mengajar.
Sekolah unggulan
menghindari protes orang tua/wali, dengan biaya mahal namun tetap menerapkan
budaya feodalisme memanfaatkan anak-anak untuk bersih-bersih sekolah. Ada beberapa
orang yang menghitung biaya pendidikan dengan layanan yang diberikan oleh
sekolah. Secara tak sadar anak-anak hanya datang, mengikuti belajar mengajar di
kelas dan kemudian pulang selama masa studi.
Di beberapa
sekolah, menghapuskan jadwal piket (bersih-bersih) kelas untuk memperoleh fokus
belajar. Padahal kita bisa mengamati, betapa anak-anak akan bangun pagi dan
berangkat lebih awal untuk menunjukkan tanggung jawabnya saat jadwal piketnya. Sekolah
juga sudah tidak lagi mengadakan kerja bakti siswa, dulu diistilahkan “Jumat
Bersih”. Kegiatan tersebut bukan sebagai seremonial belaka yang fungsinya sudah
diambil oleh Tukang Kebun atau Cleaning Servis. Jumat Bersih merupakan bagian
dari penanaman budaya kebersihan, rasa memiliki terhadap tempat belajarnya, dan
menjaga kebersihan lingkungan.
Di sekolah
sudah tidak diberi tanggung jawab, di rumah juga akan lebih sulit orang tua
menyuruh anak-anaknya untuk menyapu dan bersih-bersih rumah. Mereka hanya fokus
pada gadget dan malas gerak (mager) untuk melakukan kegiatan bersih-bersih. Sementara
ada hasil riset yang dilakukan selama 75 tahun oleh Harvard University, bahwa
anak-anak yang terlibat dalam pekerjaan rumah tangga akan memiliki peluang
meraih kesuksesan di masa dewasa.
Coba Kita amati,
mba-mba atau mas-mas penjaga Alfa atau Indomart. Mereka menata dagangan, menyapu,
membersihkan kaca, sopan melayani pembeli dan menjadi kasir bahkan merangkap
sebagai securiti. Kita mungkin menilai hal demikian sebagai bentuk eksploitasi,
karena perusahaan tidak mau rugi. Di sisi lain, perusahaan ingin membangun
kecintaan karyawan terhadap lingkungan dan pekerjaannya. Seakan ingin
mengatakan “Kamu mendapatkan penghasilan dari toko, maka Kamu harus layani dan jaga
baik-baik tempat penghasilanmu”.
Nah, dengan
melihat mekanisme kerja di atas, sekolah/madrasah seharusnya bisa membangun
tanggung jawab, rasa cinta terhadap tempat belajarnya, menjaga kenyamanan
belajar, menjadikan siswa dan orang tua sebagai sales marketing (kepuasan
layanan), disiplin, hormat pada guru dan orang yang lebih tua, kemandirian (kemampuan
mengurus diri), peduli sesama, cinta tanah air dan bangsa melalui proses
belajar mengajar dan habbituasi yang mengarah pada pencapaian tujuan tersebut. Penguasaan
mata pelajaran bisa dicapai dalam waktu singkat, namun masa studi jangan disia-siakan
hanya untuk penguasaan materi dengan nilai-nilai bagus di raport namun tidak
berkarakter.
Salah satu
kagiatan untuk bangun karakter tanggung jawab, penanaman kebersihan, cinta terhadap
tempat belajar, dan menjaga kenyamanan belajar adalah piket kelas dan kerja
bakti. Kerja bakti di pesantren dikenal dengan rokan, yang berasal dari tabarukan
atau mencari berkah dari kontribusinya pada pesantren yang akan menjadi jariyah
para santri. Tabarukan atau ngalap berkah atas keikhlasan kiai yang mengajarkan
ilmu agama. Menjalankan piket kelas, dan kerja bakti di sekolah juga menjadi
keberkahan sendiri bagi para siswa tentunya melalui teladan para guru dan
pemangku sekolah. Sehingga tidak hanya capaian akademik yang baik, juga terbangun
budaya atau habbit yang baik di sekolah yang akan mengkarakter pada individu
siswa yang bermanfaat kelak nanti (AB09112025).

Tidak ada komentar:
Posting Komentar