Minggu, 09 November 2025

Piket dan Kerja Bakti (rokan) di Sekolah Jangan Dihapuskan

Miris saat melihat lingkungan sekolah yang kotor, kumuh, sampah berserak dan di beberapa tempat ditumbuhi rumput dan semak belukar. Kepala sekolah dan guru gagal menerapkan materi ajar untuk membangun tanggung jawab terhadap masyarakat sekolah yang membiarkan lingkungannya kotor, kumuh dan jorok. Kepala sekolah disibukkan dengan rapat dan rapat, sedangkan guru hanya fokus mengajar. 

Sekolah unggulan menghindari protes orang tua/wali, dengan biaya mahal namun tetap menerapkan budaya feodalisme memanfaatkan anak-anak untuk bersih-bersih sekolah. Ada beberapa orang yang menghitung biaya pendidikan dengan layanan yang diberikan oleh sekolah. Secara tak sadar anak-anak hanya datang, mengikuti belajar mengajar di kelas dan kemudian pulang selama masa studi.

Di beberapa sekolah, menghapuskan jadwal piket (bersih-bersih) kelas untuk memperoleh fokus belajar. Padahal kita bisa mengamati, betapa anak-anak akan bangun pagi dan berangkat lebih awal untuk menunjukkan tanggung jawabnya saat jadwal piketnya. Sekolah juga sudah tidak lagi mengadakan kerja bakti siswa, dulu diistilahkan “Jumat Bersih”. Kegiatan tersebut bukan sebagai seremonial belaka yang fungsinya sudah diambil oleh Tukang Kebun atau Cleaning Servis. Jumat Bersih merupakan bagian dari penanaman budaya kebersihan, rasa memiliki terhadap tempat belajarnya, dan menjaga kebersihan lingkungan.

Di sekolah sudah tidak diberi tanggung jawab, di rumah juga akan lebih sulit orang tua menyuruh anak-anaknya untuk menyapu dan bersih-bersih rumah. Mereka hanya fokus pada gadget dan malas gerak (mager) untuk melakukan kegiatan bersih-bersih. Sementara ada hasil riset yang dilakukan selama 75 tahun oleh Harvard University, bahwa anak-anak yang terlibat dalam pekerjaan rumah tangga akan memiliki peluang meraih kesuksesan di masa dewasa.

Coba Kita amati, mba-mba atau mas-mas penjaga Alfa atau Indomart. Mereka menata dagangan, menyapu, membersihkan kaca, sopan melayani pembeli dan menjadi kasir bahkan merangkap sebagai securiti. Kita mungkin menilai hal demikian sebagai bentuk eksploitasi, karena perusahaan tidak mau rugi. Di sisi lain, perusahaan ingin membangun kecintaan karyawan terhadap lingkungan dan pekerjaannya. Seakan ingin mengatakan “Kamu mendapatkan penghasilan dari toko, maka Kamu harus layani dan jaga baik-baik tempat penghasilanmu”.

Nah, dengan melihat mekanisme kerja di atas, sekolah/madrasah seharusnya bisa membangun tanggung jawab, rasa cinta terhadap tempat belajarnya, menjaga kenyamanan belajar, menjadikan siswa dan orang tua sebagai sales marketing (kepuasan layanan), disiplin, hormat pada guru dan orang yang lebih tua, kemandirian (kemampuan mengurus diri), peduli sesama, cinta tanah air dan bangsa melalui proses belajar mengajar dan habbituasi yang mengarah pada pencapaian tujuan tersebut. Penguasaan mata pelajaran bisa dicapai dalam waktu singkat, namun masa studi jangan disia-siakan hanya untuk penguasaan materi dengan nilai-nilai bagus di raport namun tidak berkarakter.

Salah satu kagiatan untuk bangun karakter tanggung jawab, penanaman kebersihan, cinta terhadap tempat belajar, dan menjaga kenyamanan belajar adalah piket kelas dan kerja bakti. Kerja bakti di pesantren dikenal dengan rokan, yang berasal dari tabarukan atau mencari berkah dari kontribusinya pada pesantren yang akan menjadi jariyah para santri. Tabarukan atau ngalap berkah atas keikhlasan kiai yang mengajarkan ilmu agama. Menjalankan piket kelas, dan kerja bakti di sekolah juga menjadi keberkahan sendiri bagi para siswa tentunya melalui teladan para guru dan pemangku sekolah. Sehingga tidak hanya capaian akademik yang baik, juga terbangun budaya atau habbit yang baik di sekolah yang akan mengkarakter pada individu siswa yang bermanfaat kelak nanti (AB09112025). 

Sabtu, 08 November 2025

Mungkinkah Dibentuk Pesantren Desa?

Pesantren memiliki lima unsur yaitu; Kiai, Santri, Masjid, Kitab Kuning (kurikulum), dan pondok sebagian menambahkan adanya maqbarah para muassis (makam pendiri). Pesantren dikenal dengan kemandiriannya, terintegrasi dengan masyarakat, dan tidak menggunakan pendekatan klasikal melainkan sorogan dan bandongan serta menganut ketuntatasan dalam pembelajaran (mastery learning). Ciri lain pesantren adalah moderat, mengajarkan cinta tanah air dan bangsa serta menghargai keragaman. Dalam perkembangannya, pesantren dibedakan dengan pesantren modern (kholaf) dan tradisional (salaf/slafiyah). Pesantren modern memadukan antara pendidikan umum dan kajian kitab kuning sedangkan pesantren tradisional (salaf/salafiyah) hanya kajian kitab kuning. Apakah ciri-ciri dan karakter ini bisa diimplementasikan dalam lingkungan yang lebih luas dan komperhensif, yaitu di Desa.

Secara umum, desa memiliki masjid jami’ dan mushalla-mushalla di RT atau RW. Desa memiliki Kiai Kampung, dan ada tradisi keagamaan yang melekat di masyarakat. Di desa terdapat pengajian al-Quran, TPQ, Madrasah Diniyah, dan pengajian rutin. Pendidikan dilakukan dari anak usia dini hingga usia lanjut. Rumah penduduk merupakan pondok/kobong santri (masyarakat). Desa juga memiliki satuan pendidikan umum seperti Pendidikan anak usia dini (KB & TK/RA), SD/MI, dan sebagian memilki SMP atau MTs.

Untuk mengaplikasikan karakter pesantren dalam kehidupan masyarakat, harus didesain bersama, menyusun visi dan misi bersama serta mendesain kurikulum bersama. Desain kurikulum harus dapat memenuhi kebutuhan pendidikan anak usia dini, anak-anak, remaja, dewasa hingga usia lanjut baik keagamaan maupun pendidikan umum sehingga ada keseimbangan antara kebutuhan keagamaan dan pendidikan umum. Untuk diimplementasikan di desa, lebih cocok menggunakan karakteristik pesantren kholaf (modern).

Selain kurikulum dan vokasi/keterampilan, membutuhkan pemimpin spiritual (kiai) yang disegani oleh masyarakat disamping penguasaan kitab kuning. Penirian Pesantren Desa membutuhkan pemimpin struktural yang kuat dan bisa merangkul seluruh lapisan masyarakat serta mampu bekerjasama dengan pemimpin spiritual untuk membuat kebijakan yang mendukung pembentukan sebuah desa pesantren atau desa madani atau qaryah thayyibah dalam bingkai pesantren.

Membangun masyarakat pesantren tidak semudah mendirikan bangunan pesantren penuh fasilitas kemudian membuka pendaftaran para guru, santri dan pelaksanaan pembelajaran. Tradisi baik dalam pesantren yang akan dipraktikkan dalam lingkungan masyarakat yang heterogen membutuhkan waktu dan pendekatan serta kekuatan spiritualitas pemimpin desa. Desain kurikulum terpadu antara pendidikan umum dan keagamaan harus linier dengan praktik keagamaan serta teladan dari tokoh masyarakat dan tokoh agama.

Bila kepala desa dianggap sebagai lurah pondok, maka dia harus bertanggung jawab mengawal masyarakat (santri) belajar dan mempraktikkan keagamaan dengan baik. praktik keagamaan tidak hanya shalat jamaah, shalat sunnah, zakat, puasa, dan ibadah lainnya termasuk akhlakul karimah masyarakat. Tokoh agama harus menjadi teladan dan sumber ilmu bagi masyarakat. Santri (masyarakat) yang menyalahi adat istiadat atau etika kemasyarakat terkena hukuman sosial (takzir), maka para pemimpin harus berintegritas serta mampu menjadi teladan.

Di pesantren, semua santri yang hadir atau dipaksa hadir oleh orang tuanya harus memiliki satu tujuan yaitu menuntut ilmu dan mengikuti tata aturan dalam pesantren. Nah, masyarakat desa harus membangun kepentingan dan tujuan bersama, yang akan memudahkan dalam membentuk Pesantren Desa tersebut.

Pesantren Desa bukanlah sebuah projek sesaat, melainkan membangun masyarakat dengan mengimplementasikan nilai-nilai yang dikembangkan pada pesantren. Nabi Muhammad saw, bisa mendirikan kota Madinah dengan pemerintahan yang penuh teladan kenabian dan petunjuk (al-Quran). Kita tidak memiliki effort prophetic, yang dapat kita lihat adalah praktik yang dilakukan para kiai yang mengasuk pesantren dengan ciri-ciri di atas yang dimungkinkan dapat dikembangkan dalam lingkungan masyarakat yang beragam.

Senin, 11 Agustus 2025

Sumber Jariyah Tak Putus Pahala

Kita sering mendengar para muballigh menyampaikan amal jariyah yang pahalanya tidak terputus meskipun orangnya sudah meninggal. Satu, shadaqatun jariyatun atau sedekah jariyah. Yaitu, sedekah maliyah yang tetap mengalir pahalanya karena sesuatu yang disedekahkan masih difungsikan untuk ibadah. Kedua, ilmu bermanfaat. Ilmu (agama) atau pengetahuan yang kita berikan kepada orang lain dan dengan ilmu tersebut mereka melakukan kebaikan. Ketiga, doa anak yang shaleh kepada orang tuanya. Anak-anak shaleh merupakan deposito pahala yang akan selalu mengalir kepada orang tuanya, sebab didikan baik orang tuanya.

Dari ketiga sumber pahala tersebut, paling instan adalah menyumbangkan sejumlah uang atau barang ke masjid atau lembaga pendidikan. Dan motivasi para muballigh menyampaikan sumber pahala ini, bukan tidak mungkin juga agar masjid/mushalla dan lembaga pendidikan maju termasuk milik mereka. Bila kita memiliki kekayaan harta, alihkan ke pembuatan jalan, lembaga pendidikan, pembukaan lapangan kerja, dan fasilitas-fasilitas yang dapat meringankan masalah orang lain, selain untuk pembangunan rumah ibadah.

Ilmu (agama) tidak semua orang ahli di bidang tersebut, kecuali ahli agama seperti mufti, ulama, dan kiai. Lebih banyak dari kita mengetahui pendidikan agama dasar untuk pengamalan agama yang kita anut dengan baik, tidak sebagai pendidik (allim allamah). Yang ketiga, kita tidak yakin menilai diri kita sebagai orang yang shaleh yang doanya dapat memberikan aliran pahala kepada orang tua kita. Fenomena di masyarakat, kita akan mengundang orang-orang sekitar dan pemimpin agama untuk hadir mendoakan orang tua kita yang sudah mati sebagai bentuk pengakuan bahwa doa mereka lebih baik daripada doa kita (merasa).

Selain ketiga sumber pahala di atas, jarang kita melihat muballigh menyampaikan sumber pahala lain yang tidak pernah putus. Sumber tersebut adalah jariyah sosial dan lingkungan. Jariyah sosial adalah tindakan keteladanan dalam membentuk peradaban madani sehingga menjadi daerah atau wilayah yang baik (baldatun/qaryatun thayyibatun) dan Allah selalu memberikan pengampunan atau permakluman atas perilaku masyarakatnya (warabbun ghafur). Suatu tindak keteladanan seseorang yang kemudian membudaya menjadi tradisi baik, akan menjadi sumber pahala yang tak pernah putus sepanjang peradaban baik tersebut masih berjalan.

Rasul saw., menyampaikan dalam riwayat imam Muslim ra, “man sanna sunatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man amilabiha ba’dahu min ghairi ‘an yanqusa min ujurihim syai’un”. Barang siapa melakukan tindakan yang baik, dia akan memperoleh pahala dan pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang-orang yang mengikutinya. Menciptakan peradaban baik, adalah sumber pahala yang tak pernah putus dari praktek sosial masyarakat. Satu tindakan baik kita yang menjadi tradisi baik, merupakan sumber pahala jariyah kita yang tak pernah putus. Gajah mati meninggalkan gading, macan mati meninggalkan belang dan manusia mati meninggalkan budi baiknya.

Sumber lainnya adalah jariyah bi’ah, atau jariyah lingkungan. Yaitu menciptakan lingkungan yang memberikan kemaslahatan bagi manusia, binatang, ekosistem, konservasi air tanah, ketersediaan oksigen (O2) dan unsur lingkungan lainnya. membiarkan kerusakan lingkungan bagian dari kontribusi fasadun fi al-ardh. Dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, “Tiada seorang Muslim yang menanam pohon atau menebar bibit tanaman, lalu dimakan oleh burung atau manusia, melainkan ia akan bernilai sedekah bagi penanamnya.”

Orang yang menanam pohon atau biji, ketika tumbuh besar dan berbuah kemudian baginya pahala yang tak pernah putus selama pohon yang ditanamnya memberikan manfaat. Kita hitung kasar manfaat satu pohon dewasa. Dalam satu lembar daun paling tidak mengeluarkan 5 mililiter O2/Jam. Pada mohon tersebut hidup, semut, ulat, dan serangga, yang dapat mengundang burung untuk datang mencari makan. Bila pohon berbuah, akan mengundang burung, kelelawar, lalat buah, dan manusia sebagai penikmat buah tersebut. Akar pohon menyimpan air tanah, dan memberikan kehidupan organisme dalam tanah seperti cacing dan bakteri pembusuk tatkala daun-daun berguguran. Dan masih banyak kemanfaatan lain dari satu pohon yang kita tanam.

Dari sumber-sumber pahala jariyah di atas, kiranya kita dapat melakukan satu diantaranya dalam sepanjang umur kita, sedekah jariyah, menyampaikan ilmu, jariyah sosial dan jariyah bi’ah atau lingkungan. Jalani semua atas dasar keasadaran sebagai manusia yang memilki tanggung jawab di bumi (khalifah fil ardl) yang memiliki dasar agama dan pengetahuan yang untuk kemaslahatan ummat.

Sabtu, 26 Juli 2025

Cerewet: Alarm Cinta Seorang Ibu

Pagi buta kita sudah mendengar omelan ibu sambil terdengar “glomprang” suara perabot yang sedang dicucinya. Bila kita tak beranjak juga, akan terdengar teriakan panggilan dan sumpah serapahnya. “Subuh belum bangun, nanti mau jadi apa!!” lanjut “nanti rejekimu dipatuk ayam”. Belum lagi omelan saat kita tidak membantu pekerjaan rumah, jualan, tidak belajar dan tidur malem. Bahkan saat kita sudah merasa dewasa, omelan sayang ibu dianggap keterlaluan.

Meskipun kita sudah dewasa bahkan sudah menikah dan memiliki keluarga besar sendiri. Tetaplah seorang ibu menganggap kita sebagai anak-anak (anaknya) yang perlu dikhawatirkan bertindak salah dan ceroboh. Sehingga kita tidak nyaman atas tindakan Ibu yang anggap turut campur urusan kita dan merasa tidak nyaman atas kecerewetannya. Nasehatnya terkadang tidak sesuai dengan nalar kita, sehingga membutuhkan energi untuk menahan emosi.

Cobalah berpikir dengan baik dan cermat, “Kenapa kita tidak marah atas suara sama dan keras alarm yang bangunkan kita di pagi buta dan berulang tiap hari?” bahkan dengan sengaja kita setting alarm tersebut.

Tidakkah kita anggap kecerewetan Ibu itu sebagai alarm, pengingat kita, bentuk rasa sayangnya pada kita, dan ada yang dilihat seorang Ibu yang tidak kita ketahui. Sebagai orang yang memberikan Asi, mendidik dan mendampingi kita hingga bertahun-tahun, Ibu sangat memahami karakter kita. Rasa sayangnya yang tinggi diwujudkan dalam kecerewetannya merupakan anugerah bagi kita.

Janganlah marah, jangan ditentang dan sakit hati, senyumi dan ambil tindakan yang tidak menyakitkan hatinya. Kerelaan Ibu (orang tua) menjadi jalan keridhoaan Allah swt. Frekuensi dan power kecerewetan bisa nambah level saat Ibu kita bertambah usia. Cobalah diingat dan refleksi diri, betapa sabarnya seorang Ibu yang momong kita dengan sabar dari kenakalan kita. Dia menjaga kita dari ketidaklaparan, dia menangis mendoakan kita agar sukses dan menjadi orang yang bermanfaat.

Setelah kita sukses dan menjadi orang yang bermanfaat, kita lupa dan abaikan jasa ibu. Dan hanya melihat kecerewetannya belaka. Kesombongan kita bertambah dengan merasa kesuksesan itu karena usaha dan ikhtiyar kita. Bila Tuhan tidak memberikan rasa sayang pada kita, bisa saja kita dicekik mati dan ditelantarkan. Ibu kita dengan susah payah membesarkan kita, dia rela tidak makan untuk sekedar anaknya kenyang dan tidak menangis.

Bila kalian masih punya orang tua, jadikanlah dia pusaka yang diletakkan di hati kalian dan berbuat baiklah kepada mereka (birrul walidain). Bila telah tiada, kunjungi makamnya sebagai bentuk perhatianmu pada mereka. Doakan tiap saat, hadiahkan amal untuk mereka, sebab kalian tidak akan bisa mengirimkan pizza, roti, sate, nasi goreng dan lainnya kecuali sudah ditransformasi menjadi amal (sedekah) untuk mereka. Tiada hadiah yang berharga bagi selain doa dan kesalehan kita. Shaleh adalah proses transformasi menuju kesempurnaan (insan kamil).

Senin, 09 Juni 2025

Ikrar Pembuka Shalat Yang Terabaikan

Doa iftitah bukan menjadi rukun shalat, namun penting kita renungkan bagi yang mengamalkannya. Kita hanya melafalkan seperti mantra atau tahu artinya tanpa mengamalkan maknanya. Seumur hidup tidak mengalami peningkatan ilmu, padahal mencari ilmu itu wajib bagi tiap-tiap muslim (thalabul ilmi faridhotun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin). Hal ini menjadi tantangan bagi pengurus masjid dan mushalla, tidak hanya memperbaiki gedung dan interiornya, juga meningkatkan pemahaman keagamaan jamaahnya.

Setelah takbiratul ihram, kemudian membaca kabiran wal hamdulillah katsiran yang kurang lebih artinya keagungan dan pujian bagi Allah yang tak terkira. Katsiran itu banyak, berapa kali kita bertakbir, paling tidak 90 kali bertakbir dalam shalat wajib, bila dengan dzikir bakda shalat, menjadi 255 kali kita bertakbir setiap hari.

Manifestasi dalam kehidupan sehari-hari kita tidak mengerdilkan asma wa shifat Allah dalam ucapan, pikiran, perasaan dan tindakan. Menghawatirkan diri tidak memperoleh rizki adalah salah satu bisikan halus tidak percaya Allah yang maha pemberi rizki (al-Razaq). Kita secara tak sadar keluh kesah kita “blandrang” alias kebablasan hingga mengerdilkan Allah bahkan menghilangkan eksistensinya. Kita juga melakukan hal yang dilarang dengan menyepelekan  keberadaan Allah, dengan mengatakan “ah gampang nanti tobat” sambil kecengesan.

Kalimat hamdalah (alhamdulillah) sebagai ucapan ringan rasa syukur kita kepada Allah atas nikmat hidup dan fasilitas tanpa bayar yang diberikan-Nya. Lebih mendalam lagi kalimat tersebut tak hanya dibaca saat sadar merasakan nikmat dan pengantar dalam doa. Kita harus menggunakan nikmat tersebut untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita, menebar kebermanfaatan bagi sesama ciptaan-Nya paling tidak kenikmatan yang kita rasakan tidak digunakan untuk membuat kerusakan di bumi (yufsiduna fil ardh).

Wasubhanallahi bukratan wa ashilah, dan menasbihkan diri di pagi hingga sore hari. Apakah kita selalu bertasbih, dalam sehari minimal 318 kali bacaan tasbih. Bila makna tasbih itu “maha suci Allah”, sementara Allah tidak membutuhkan bacaan kita mensucikan-Nya. Mungkin kalimat itu untuk mengontrol pikiran, perbuatan dan rasa kita dari merendahkan dan mensyirikkan Allah swt., serta tidak melakukan perbuatan yang dilarang.  

Inni wajjahtu wajhiya, lilladzi fathara al-samawati wal ardhz hanifan musliman, sesunguhnya kuhadapkan diriku ke arah-Nya, Dia yang menciptakan langit dan bumi dengan ketundukan dan kepasrahan. Dalam aktivitas sehari-hari tidak boleh berpaling dari-Nya, semua tindakan hanya tertuju kepada Allah swt (lillahi ta’ala). Dengan bacaan tahlil (laa ilaha illa Allah), kita harus melatih diri semua yang selain Allah itu hilang (fana). Apakah tindakan kita sudah demikian? coba dipikir-pikir dan diresapi kembali (muhasabatun nafs).

Wama ana minal musyrikin, dan saya bukan bagian dari orang-orang yang mempersetukukan-Nya (musyrikin). Kita sendiri menyatakan bukan bagian dari orang-orang musyrik, benarkah kelakuan kita demikian? Mestinya kita sudah paham yang dimaksudkan syirik dan resikonya yang tidak akan pernah diampuni dosanya. Tindakan itu dari yang lembut (khoufi) seperti riya’ (pamer) hingga terang-terang (jally) dengan bertuhan kepada selain-Nya.

Inna al-shalati wanusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil alamin, sesungguhnya shalatku dan ibadahku, hidup dan matiku untuk Allah, pembimbing (rabb) seluruh alam. Coba dipikir kembali, bagaimana shalat kita, untuk siapa dan apa yang diharapkan? Dalam shalat diupayakan khusuk, dan memiliki self impact pencegahan dari perbuatan keji dan munkar.  Sembahyang merupakan persembahan diri kepada Sang Hyang (Allah swt) tanpa syarat dan mengharap imbalan. Pahala, surga, ketenangan, kesehatan dan lainnya adalah konskuensi yang didapatkan dari praktik yang hanifan musliman, bukan menjadi tujuan. Ingat …! Siapa menjadikan dunia dan niatan lainnya menjadi tujuan, maka mereka hanya mendapatkan hal yang dituju tersebut. Sebaliknya, barangsiapa Allah menjadi tujuannya, maka mereka akan mendapatkan dunia dan akhirat seisinya.

Laa syarika lahu wabidzalika umirtu wa ana minal muslimin, tidak ada persyirikan terhadap-Nya dan yang demikian diperintahkan dan saya bagian dari orang-orang yang tunduk (taslim). Sekali lagi tidak mempersekutukan disebut kembali, dan dinyatakan bahwa saya bagian dari orang yang tunduk atau damai. Artinya, tunduk menjalankan shalat dan ibadah lainnya dengan tanpa mensyirikkan dan melupakan Allah swt. Pesan untuk tidak meninggalkan dunia dalam keadaaan tidak tunduk (muslim), wala tamutunna illa wa antum muslimun dan hanya orang-orang yang muthmainnah (tenang jiwanya) yang dapat kembali kepada Allah swt. Silakan dipikir kembali, dalam kehidupan kita apakah sudah benar tindakan kita dalam kerangka tersebut?

Doa ifititah sebagai ikrar pembuka dalam shalat juga menjadi ikrar kita dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Shalat yang tepat adalah yang memberikan self impact pencegahan perbuatan keji dan munkar diri serta dapat menciptakan harmoni masyarakat dan alam sekitar dalam kehidupan. Shalat memiliki hubungan transendental secara vertikal dan horisontal. Secara vertikal, shalat merupakan dialog kawulo lan Gusti (al-shalatu mi’rajul mukminin). Setiap persoalan yang kita hadapi, dengan shalat kita mengkomunikasi dengan Allah (wasta’inu bi al-shabri wa al-shalah). Secara horisontal, shalat harus bisa menuntun pelakunya menjadi orang yang baik yang menebarkan kedamaian.

Setelah kita membaca setiap shalat, mari kira renungi untuk memanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan rukun, namun secara mendalam dapat menuntun dan mengingatkan kita atas ikrar iftitah shalat untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari hingga nanti kembali (ruju’) kepada Allah swt, dengan selamat.

Selasa, 03 Juni 2025

Semangat Jamarat, Jamaah Tersesat

Jamaah Haji Menuju Jamarat 2019

Satu kelompok terbang terdapat 395 jamaah dengan 25 persen resti dan lebih dari usia 60 tahun. Kami sangat menjaga mereka agar tetap sehat dan semangat menunaikan wajib dan rukun haji serta sunah-sunahnya. Setelah tiba di Mina, kita atur jadwal agar jamarat sesuai jadwal yang ditentukan dari pemerintah Arab Saudi. Meskipun demikian, ada pula yang Subuh hari sampai Mina, langsung jumratul ula seusai jamaah shalat subuh.

Di hari kedua, sepasang pengantin yang menua bersama dengan semangat berangkat untuk jamarat (jumratul wustha) dari mulai berangkat saya tidak melepaskan pandangan saya dari sepasang orang tua tersebut. Sekembali menuju tenda kita, saya berjalan di belakang kedua orang tersebut, sambil sesekali memastikan kondisi pasangan tua harmonis tersebut.

Saya       : “masih kuat, Bapak?”

Bapak    : “siaap, masih kuat Mas”, sambil menunjukkan tangan terkepal.

                  Kedua orang tersebut berjalan semangat dan bahagia mampu menyelesaikan

                  jumratul wustha, ada kebanggan nampak di raut wajah keduanya. Saya dekati

                  kembali, dan bertanya:

Saya       : “masih kuat, Bapak? Bila lelah, istirahat dulu nanti dilanjutkan kembali”

Bapak    : “tidak apa-apa, mas. Insyaallah masih kuat sampai tenda”

Setelah ketiga kalinya saya bertanya, jamaah dari berbagai negara tumplek-plek, dan saya kehilangan pasangan harmonis tersebut. Sambil berjalan, mata saya mengawasi dalam keramaian mencari mereka, hingga berputar kembali menuju tenda kami tidak menemukan Bapak tersebut. Setelah cukup lama bertanya-tanya, bertemu bapaknya dan nampak bapak tersebut kelelahan sambil kipas-kipas.

Saya       : “Kok baru sampai, Bapak?”

Bapak    : “iya mas, saya nyasar sampai ke tenda-tenda orang Malaysia, Thailand, dan

                  Piliphine”. Saya duduk kecapekan, bertemu dengan orang Indonesia diantar

                  kembali ke tenda”

Saya       : “hehehe….”, saya tertawa kecil sambil mengingat, kejujuran orang tua ini pun bisa

                  menyasarkan, selembut itu dibaca lain oleh Allah.

               “Baik, Bapak. Yang penting sudah sampai, tetap jaga kesehatan dan terus semangat

                 beribadah”


Saya duduk termenung, ada apa dengan semangat pasangan itu? Mungkinkah terbersit rasa percaya diri yang menihilkan Tuhan dalam semangatnya? Atau disorientasi karena crowded, dan berada di tempat baru, sehingga lupa rute jalan. Kita harus tetap menyertakan Tuhan dalam ucapan, perasaan dan tindakan, menghindari sombong, riya’ dan perasaan lain yang menihilkan Tuhan. Saat di Mina, hafalkan rute dan tandai saat berangkat agar kembali pulang tidak tersesat. 


Minggu, 01 Juni 2025

Sok Nasehatin, Diuji Bau Ketek

Survei Arafah, Muzdalifah & Mina

Sebelum survei lokasi di Arafah, Muzdalifah dan Mina di pagi harinya kami berkoordinasi dengan seluruh ketua rombongan dan regu serta jamaah. Hal yang disampaikan itenary selama Armuzna, strategi, dan sikap yang harus diantisipasi terutama untuk menjaga tiga hal yaitu rafats, fusuq dan jidal.

Kami menyampaikan detail jadwal dan strategi dengan mengikuti sekenario Allah dengan kepasrahan (tawakkal) yang dimungkinkan tiap detik, menit dan jam yang bisa berubah entah karena keadaan atau memang Allah menguji kesiapan jamaah untuk menjaga kemurnian peribadatan. Ada satu ketua rombongan (Karom) berpangkat kolonel, yang menghendaki jadwal harus ditaati dan dijalankan sesuai dengan rencana. Kami memahami bahwa bagaimana tentara dididik berdisiplin dengan waktu. Kami jelaskan dan didukung oleh para Karom yang sudah berulang kali membimbing haji di tanah suci. Kita sebagai tamu tidak bisa atur-atur si tuan rumah dalam melayani dan menjamu tamu.

Setelah penjelasan petugas pembimbing ibadah, giliran saya menyampaikan strategi untuk mengendalikan diri agar tidak berucap, berpikir dan berkehendak hati yang negatif terhadap orang lain.

Saya    : “Bapak/Ibu, selama Armuzna kita memiliki keterbatasan untuk mandi, apabila

    tercium bau ketek, jangan pernah terbersit di dalam hati, hingga mengucapkan

    kalimat kotor yang menyinggung orang lain”.

Jamaah            : “baik, Pak Ketua”

Saya belum pernah mengikuti rangkaian Armuzna, tetapi sok tahu dengan menjelaskan keadaan riuhnya jamaah dan saya menasihati jamaah tidak mengendalikan emosi selama rangkain tersebut.

Setelah pertemuan pagi, petugas kloter dan perwakilan Karom melakukan survei. Saya duduk kursi baris kedua dari belakang. Bis melaju menuju Arafah, di tengah perjalanan tiba-tiba tercium bau ketek yang sangat menyengat seperti beberapa hari tidak mandi.

Saya    : “Hahahaha…….belum ada sehari, langsung dibalas dan diuji”, saya ketawa sendirian

    sambil buat status di watshap.

Saya    : “makanya jangan sok tahu nasehatin orang,….hahahah”, saya menertawakan diri

    sendiri. Sampai kembali ke hotel, saya cerita sambil tertawa ngakak di kamar hotel.

Tak pernah terpikir nasehat yang saya sampaikan diuji oleh Allah swt, “apakah kamu bisa melakukan tentang apa yang kamu katakan? Jangan Jarkoni (iso ngajar ora biso nglakoni)”. Hal yang seperti itu saja telah dibayar tunai. Kejadian tersebut mengingatkan saya agar tidak sok tahu, tidak menyampaikan apa yang tidak tahu, dan berhati-hati dalam berbicara.


Piket dan Kerja Bakti (rokan) di Sekolah Jangan Dihapuskan

Miris saat melihat lingkungan sekolah yang kotor, kumuh, sampah berserak dan di beberapa tempat ditumbuhi rumput dan semak belukar. Kepala s...