Senin, 09 Juni 2025

Ikrar Pembuka Shalat Yang Terabaikan

Doa iftitah bukan menjadi rukun shalat, namun penting kita renungkan bagi yang mengamalkannya. Kita hanya melafalkan seperti mantra atau tahu artinya tanpa mengamalkan maknanya. Seumur hidup tidak mengalami peningkatan ilmu, padahal mencari ilmu itu wajib bagi tiap-tiap muslim (thalabul ilmi faridhotun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin). Hal ini menjadi tantangan bagi pengurus masjid dan mushalla, tidak hanya memperbaiki gedung dan interiornya, juga meningkatkan pemahaman keagamaan jamaahnya.

Setelah takbiratul ihram, kemudian membaca kabiran wal hamdulillah katsiran yang kurang lebih artinya keagungan dan pujian bagi Allah yang tak terkira. Katsiran itu banyak, berapa kali kita bertakbir, paling tidak 90 kali bertakbir dalam shalat wajib, bila dengan dzikir bakda shalat, menjadi 255 kali kita bertakbir setiap hari.

Manifestasi dalam kehidupan sehari-hari kita tidak mengerdilkan asma wa shifat Allah dalam ucapan, pikiran, perasaan dan tindakan. Menghawatirkan diri tidak memperoleh rizki adalah salah satu bisikan halus tidak percaya Allah yang maha pemberi rizki (al-Razaq). Kita secara tak sadar keluh kesah kita “blandrang” alias kebablasan hingga mengerdilkan Allah bahkan menghilangkan eksistensinya. Kita juga melakukan hal yang dilarang dengan menyepelekan  keberadaan Allah, dengan mengatakan “ah gampang nanti tobat” sambil kecengesan.

Kalimat hamdalah (alhamdulillah) sebagai ucapan ringan rasa syukur kita kepada Allah atas nikmat hidup dan fasilitas tanpa bayar yang diberikan-Nya. Lebih mendalam lagi kalimat tersebut tak hanya dibaca saat sadar merasakan nikmat dan pengantar dalam doa. Kita harus menggunakan nikmat tersebut untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita, menebar kebermanfaatan bagi sesama ciptaan-Nya paling tidak kenikmatan yang kita rasakan tidak digunakan untuk membuat kerusakan di bumi (yufsiduna fil ardh).

Wasubhanallahi bukratan wa ashilah, dan menasbihkan diri di pagi hingga sore hari. Apakah kita selalu bertasbih, dalam sehari minimal 318 kali bacaan tasbih. Bila makna tasbih itu “maha suci Allah”, sementara Allah tidak membutuhkan bacaan kita mensucikan-Nya. Mungkin kalimat itu untuk mengontrol pikiran, perbuatan dan rasa kita dari merendahkan dan mensyirikkan Allah swt., serta tidak melakukan perbuatan yang dilarang.  

Inni wajjahtu wajhiya, lilladzi fathara al-samawati wal ardhz hanifan musliman, sesunguhnya kuhadapkan diriku ke arah-Nya, Dia yang menciptakan langit dan bumi dengan ketundukan dan kepasrahan. Dalam aktivitas sehari-hari tidak boleh berpaling dari-Nya, semua tindakan hanya tertuju kepada Allah swt (lillahi ta’ala). Dengan bacaan tahlil (laa ilaha illa Allah), kita harus melatih diri semua yang selain Allah itu hilang (fana). Apakah tindakan kita sudah demikian? coba dipikir-pikir dan diresapi kembali (muhasabatun nafs).

Wama ana minal musyrikin, dan saya bukan bagian dari orang-orang yang mempersetukukan-Nya (musyrikin). Kita sendiri menyatakan bukan bagian dari orang-orang musyrik, benarkah kelakuan kita demikian? Mestinya kita sudah paham yang dimaksudkan syirik dan resikonya yang tidak akan pernah diampuni dosanya. Tindakan itu dari yang lembut (khoufi) seperti riya’ (pamer) hingga terang-terang (jally) dengan bertuhan kepada selain-Nya.

Inna al-shalati wanusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil alamin, sesungguhnya shalatku dan ibadahku, hidup dan matiku untuk Allah, pembimbing (rabb) seluruh alam. Coba dipikir kembali, bagaimana shalat kita, untuk siapa dan apa yang diharapkan? Dalam shalat diupayakan khusuk, dan memiliki self impact pencegahan dari perbuatan keji dan munkar.  Sembahyang merupakan persembahan diri kepada Sang Hyang (Allah swt) tanpa syarat dan mengharap imbalan. Pahala, surga, ketenangan, kesehatan dan lainnya adalah konskuensi yang didapatkan dari praktik yang hanifan musliman, bukan menjadi tujuan. Ingat …! Siapa menjadikan dunia dan niatan lainnya menjadi tujuan, maka mereka hanya mendapatkan hal yang dituju tersebut. Sebaliknya, barangsiapa Allah menjadi tujuannya, maka mereka akan mendapatkan dunia dan akhirat seisinya.

Laa syarika lahu wabidzalika umirtu wa ana minal muslimin, tidak ada persyirikan terhadap-Nya dan yang demikian diperintahkan dan saya bagian dari orang-orang yang tunduk (taslim). Sekali lagi tidak mempersekutukan disebut kembali, dan dinyatakan bahwa saya bagian dari orang yang tunduk atau damai. Artinya, tunduk menjalankan shalat dan ibadah lainnya dengan tanpa mensyirikkan dan melupakan Allah swt. Pesan untuk tidak meninggalkan dunia dalam keadaaan tidak tunduk (muslim), wala tamutunna illa wa antum muslimun dan hanya orang-orang yang muthmainnah (tenang jiwanya) yang dapat kembali kepada Allah swt. Silakan dipikir kembali, dalam kehidupan kita apakah sudah benar tindakan kita dalam kerangka tersebut?

Doa ifititah sebagai ikrar pembuka dalam shalat juga menjadi ikrar kita dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Shalat yang tepat adalah yang memberikan self impact pencegahan perbuatan keji dan munkar diri serta dapat menciptakan harmoni masyarakat dan alam sekitar dalam kehidupan. Shalat memiliki hubungan transendental secara vertikal dan horisontal. Secara vertikal, shalat merupakan dialog kawulo lan Gusti (al-shalatu mi’rajul mukminin). Setiap persoalan yang kita hadapi, dengan shalat kita mengkomunikasi dengan Allah (wasta’inu bi al-shabri wa al-shalah). Secara horisontal, shalat harus bisa menuntun pelakunya menjadi orang yang baik yang menebarkan kedamaian.

Setelah kita membaca setiap shalat, mari kira renungi untuk memanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan rukun, namun secara mendalam dapat menuntun dan mengingatkan kita atas ikrar iftitah shalat untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari hingga nanti kembali (ruju’) kepada Allah swt, dengan selamat.

Selasa, 03 Juni 2025

Semangat Jamarat, Jamaah Tersesat

Jamaah Haji Menuju Jamarat 2019

Satu kelompok terbang terdapat 395 jamaah dengan 25 persen resti dan lebih dari usia 60 tahun. Kami sangat menjaga mereka agar tetap sehat dan semangat menunaikan wajib dan rukun haji serta sunah-sunahnya. Setelah tiba di Mina, kita atur jadwal agar jamarat sesuai jadwal yang ditentukan dari pemerintah Arab Saudi. Meskipun demikian, ada pula yang Subuh hari sampai Mina, langsung jumratul ula seusai jamaah shalat subuh.

Di hari kedua, sepasang pengantin yang menua bersama dengan semangat berangkat untuk jamarat (jumratul wustha) dari mulai berangkat saya tidak melepaskan pandangan saya dari sepasang orang tua tersebut. Sekembali menuju tenda kita, saya berjalan di belakang kedua orang tersebut, sambil sesekali memastikan kondisi pasangan tua harmonis tersebut.

Saya       : “masih kuat, Bapak?”

Bapak    : “siaap, masih kuat Mas”, sambil menunjukkan tangan terkepal.

                  Kedua orang tersebut berjalan semangat dan bahagia mampu menyelesaikan

                  jumratul wustha, ada kebanggan nampak di raut wajah keduanya. Saya dekati

                  kembali, dan bertanya:

Saya       : “masih kuat, Bapak? Bila lelah, istirahat dulu nanti dilanjutkan kembali”

Bapak    : “tidak apa-apa, mas. Insyaallah masih kuat sampai tenda”

Setelah ketiga kalinya saya bertanya, jamaah dari berbagai negara tumplek-plek, dan saya kehilangan pasangan harmonis tersebut. Sambil berjalan, mata saya mengawasi dalam keramaian mencari mereka, hingga berputar kembali menuju tenda kami tidak menemukan Bapak tersebut. Setelah cukup lama bertanya-tanya, bertemu bapaknya dan nampak bapak tersebut kelelahan sambil kipas-kipas.

Saya       : “Kok baru sampai, Bapak?”

Bapak    : “iya mas, saya nyasar sampai ke tenda-tenda orang Malaysia, Thailand, dan

                  Piliphine”. Saya duduk kecapekan, bertemu dengan orang Indonesia diantar

                  kembali ke tenda”

Saya       : “hehehe….”, saya tertawa kecil sambil mengingat, kejujuran orang tua ini pun bisa

                  menyasarkan, selembut itu dibaca lain oleh Allah.

               “Baik, Bapak. Yang penting sudah sampai, tetap jaga kesehatan dan terus semangat

                 beribadah”


Saya duduk termenung, ada apa dengan semangat pasangan itu? Mungkinkah terbersit rasa percaya diri yang menihilkan Tuhan dalam semangatnya? Atau disorientasi karena crowded, dan berada di tempat baru, sehingga lupa rute jalan. Kita harus tetap menyertakan Tuhan dalam ucapan, perasaan dan tindakan, menghindari sombong, riya’ dan perasaan lain yang menihilkan Tuhan. Saat di Mina, hafalkan rute dan tandai saat berangkat agar kembali pulang tidak tersesat. 


Minggu, 01 Juni 2025

Sok Nasehatin, Diuji Bau Ketek

Survei Arafah, Muzdalifah & Mina

Sebelum survei lokasi di Arafah, Muzdalifah dan Mina di pagi harinya kami berkoordinasi dengan seluruh ketua rombongan dan regu serta jamaah. Hal yang disampaikan itenary selama Armuzna, strategi, dan sikap yang harus diantisipasi terutama untuk menjaga tiga hal yaitu rafats, fusuq dan jidal.

Kami menyampaikan detail jadwal dan strategi dengan mengikuti sekenario Allah dengan kepasrahan (tawakkal) yang dimungkinkan tiap detik, menit dan jam yang bisa berubah entah karena keadaan atau memang Allah menguji kesiapan jamaah untuk menjaga kemurnian peribadatan. Ada satu ketua rombongan (Karom) berpangkat kolonel, yang menghendaki jadwal harus ditaati dan dijalankan sesuai dengan rencana. Kami memahami bahwa bagaimana tentara dididik berdisiplin dengan waktu. Kami jelaskan dan didukung oleh para Karom yang sudah berulang kali membimbing haji di tanah suci. Kita sebagai tamu tidak bisa atur-atur si tuan rumah dalam melayani dan menjamu tamu.

Setelah penjelasan petugas pembimbing ibadah, giliran saya menyampaikan strategi untuk mengendalikan diri agar tidak berucap, berpikir dan berkehendak hati yang negatif terhadap orang lain.

Saya    : “Bapak/Ibu, selama Armuzna kita memiliki keterbatasan untuk mandi, apabila

    tercium bau ketek, jangan pernah terbersit di dalam hati, hingga mengucapkan

    kalimat kotor yang menyinggung orang lain”.

Jamaah            : “baik, Pak Ketua”

Saya belum pernah mengikuti rangkaian Armuzna, tetapi sok tahu dengan menjelaskan keadaan riuhnya jamaah dan saya menasihati jamaah tidak mengendalikan emosi selama rangkain tersebut.

Setelah pertemuan pagi, petugas kloter dan perwakilan Karom melakukan survei. Saya duduk kursi baris kedua dari belakang. Bis melaju menuju Arafah, di tengah perjalanan tiba-tiba tercium bau ketek yang sangat menyengat seperti beberapa hari tidak mandi.

Saya    : “Hahahaha…….belum ada sehari, langsung dibalas dan diuji”, saya ketawa sendirian

    sambil buat status di watshap.

Saya    : “makanya jangan sok tahu nasehatin orang,….hahahah”, saya menertawakan diri

    sendiri. Sampai kembali ke hotel, saya cerita sambil tertawa ngakak di kamar hotel.

Tak pernah terpikir nasehat yang saya sampaikan diuji oleh Allah swt, “apakah kamu bisa melakukan tentang apa yang kamu katakan? Jangan Jarkoni (iso ngajar ora biso nglakoni)”. Hal yang seperti itu saja telah dibayar tunai. Kejadian tersebut mengingatkan saya agar tidak sok tahu, tidak menyampaikan apa yang tidak tahu, dan berhati-hati dalam berbicara.


Ikrar Pembuka Shalat Yang Terabaikan

Doa iftitah bukan menjadi rukun shalat, namun penting kita renungkan bagi yang mengamalkannya. Kita hanya melafalkan seperti mantra atau tah...