"Tidak heran bila negara tetangga ingin
mengembangkan Reog untuk negaranya, sedangkan di negerinya sendiri ada yang
caci karena tidak islami."
"Kuda lumping dianggap sesat karena makan
beling, sementara mereka tidak eling kalau mereka membutuhkan uang beberapa
keping untuk sekedar makan karena capek berkeliling".
"Pantesan pagelaran Siswo Budoyo sudah tak pernah terliat lagi. Saya juga sudah tidak
bisa nonton lagi di TV, ternyata telah dijual oleh bangsanya sendiri.
Kok gak ada yang tangkap dia ya,.....? kehidupan kota itu begitu
egois, nafsi-nafsi, tak peduli dengan budaya adiluhung bangsa. Generasi muda lebih bangga dengan budaya import dibanding mencintai budaya bangsanya sendiri. Kemudian
nular ke desa-desa,......Bangsa yang aneh",
Jangan-jangan, para dalang wayang kulit pun harus mengolah lumping
wayangnya yang tidak laku "ditanggap" oleh masyarakat. Di cacah, di
rendam dan di goreng, jadi Kerupuk Wayang Kulit."
"Huuuuh,.......piye iki,...?", Doel sambil menghela
nafas setelah panjang ngedumel sendiri dalam perjalanannya beserta rombongan,..
"Ada apa Doel,.....?", tanya Mas Budi. Beliau adalah orang
yang memiliki sopan santun, dan menghargai betul kebudayaan bangsa. Orang kota
ning perilakunya ngalim banget tapi ya ga kampungan.
"Itu.....kebudayaan kita kok dijajakan di pinggir
jalan, Mas.", jawab Doel.
"Saya sebagai masyarakat yang cinta kebudayaan, nangis mas,.......ngregel, sakitnya tuuh disini", doel sambil nunjuk kepala.
"Kuda Lumping tadi ya,.......?", tanya Mas Budi.
"Bukan,.....", jawab Doel.
"Kethoprak Mas Budi,.........yang didorong dan mangkal di
pinggir jalan', jawab Doel polos.
"ooh itu,......itu makanan doel, kebetulan namanya sama
dengan kesenian Kethoprak. Lontong atau ketupat, diberi sayur, bihun dan tahu
terus dikucuri sambil kacang. ....Enak doel," Mas Budi menerangkan sambil
senyum.
"Hehehe,.....salah ya Mas Budi", doel tersipu malu
karena salah menafsiri Kethoprak.
- - DZ al Q-shud - - Jakarta; 09-02-2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar