Saat mencari bahan tulisan, sengaja aku memilih kota di mana dia bekerja disana selain untuk memperoleh bahan-bahan, aku berharap dapat bertemu melepas rindu, paling tidak dapat melihatnya
walau dari kejauhan.
Kusempatkan waktu di sela-sela tugasku untuk
mencarimu, tiap gang di sepanjang jalan dari Simpang Arengka hingga perempatan
Panam. Kumasuki satu persatu, mungkin orang-orang yang melihatku kebingungan
karena tak sekali aku bolak-balik melalui lorong-lorong.
Tempat kosan begitu banyak, dan aku tak mungkin
menanyakan nama yang familier di hatiku tetapi mungkin berbeda. Nama itu juga
bukan panggilan orang-orang sekantornya. Mungkin juga merupakan penggalan nama
yang dia berikan pada saat awal-awal dia menyebut lengkap namanya padaku.
Ada satu rumah yang ku dekati karena ciri-cirinya
hampir sama dengan apa yang dia ceritakan. Dia berada di lantai atas, kosan
dengan warna pink catnya. Depan rumah pemiliknya ada pohon kelapa gading, pohon
jambu, dan samping kanan juga ada deret kosan lainnya. Kuhentikan motor sewaan di depan rumah tersebut, untuk menanyakan pada tetangga karena
pemiliknya baru saja berpapasan denganku saat masuk gang. Nama yang aku
tanyakan ternyata tidak familier di telinga mereka, mungkin tak mengenal atau
aku yang salah rumah. Saat itu hujan turun dengan deras, basah kuyup tak
menjadi halangan untuk menarik gas motor pinjaman itu mencari sang pujaan hati.
Saya membawa buah kesukaannya, lengkeng, mangga,
pepaya jingga dan sedikit anggur. Dia tak begitu suka anggur, kubawa karena dia
agak batuk dan serak tenggorokannya, sekedar untuk mengencarkan dahaknya.
Alamat tak pernah ia berikan, dan buah itu pun akhirnya aku berikan orang di
pinggir jalan.
Setelah hampir seharian berkeliling memasuki tiap
lorong Taman Sari, saya duduk tertegun di pinggir jalan Jend. Sudirman, dekat
dengan komplek Taman Sari. “ Apakah
sayangnya hanya kepura-puraan,......atau hanya menganggapku sebagai hiburan
saja”
Terbersit dipikirannya untuk naik tower agar yang
pujaan hati mau keluar dan menemuinya. Namun aku tak tega, bila apa yang
dilakukaannya membuatnya malu di mata teman-teman sekerjanya.
Selepas kembali di hotel, aku tak ingin makan,
rasa kecewa karena tak diberi alamatnya. Kubiarkan perut ini kosong, perih
terasa tetap kupaksa untuk tak menikmati secuil makan pun. Aku hanya ingin
bertemu, aku rindukan dia. Dia menghubungiku, bertanya keadaanku. Dia minta aku
makan, sampai menangis memohon agar aku menjaga kesehatan dan makan. “Robby,...makan Sayank,....”. Beberapa
kali kalimat mengiba itu terus dia ucapakan sambil menangis terseduh-seduh.
Akhirnya, aku jawab “iya,.....aku akan
makan. Jangan menangis lagi, hapus air matamu sayank”.
Hampir tiap hari, motor pinjaman itu meluncur di
sekitar Panam. Kucari ia di kompleks Taman Sari, karena sebelumnya mengaku
tinggal di sana. Dan orang yang disuruh mengambil hadiah dariku bilang di Taman
Sari.
Sebuah Tas dengan merk body pack warna abu-abu
kubeli di Gramedia, akan kuberikan padanya karena sempat menyampaikan
keinginannya untuk beli tas punggung. Aku tak bisa mengantar dan memberikan
langsung, kutitipkan pada pegawai resepsionis hotel di Panam saat aku menginap
di sana. Kuberikan uang tip untuk dia,
dengan berat hati dia mau menunggu orang yang mengambilnya. Saya hanya
memberikan nomor HP-nya pada petugas hotel untuk menginformasikan bahwa ada
titipan untuknya. Dia tak mengambilnya sendiri, minta tolong temennya untuk
mengambil tas tersebut.
Yang kedua aku titip kain yang sengaja aku bawa
dari Jakarta. Kali ini pegawai hotel tersebut agak keberatan, mungkin karena ditegur
atasannya. “Untuk terakhir kali pak, saya bantu dan tolong jangan libatkan saya
lagi”, kata dia. “iya, ga
apa-apa,...mohon maaf ya merepotkan, terima kasih telah membantu saya”
Hampir tiap pagi aku nongkrong di simpang arengka,
berharap ada yang aku kenali sebagai dia. Karena rasa rindu yang mendalam, tak
peduli makan akhirnya perut sakit dan lidah terasa tak enak. Malam pada pukul
22.00, saya masuk rumah sakit. Untung tak menginap, tak ada saudara di sana dan
tak mungkin aku berharap dia untuk menjagaku atau memohon untuk sekedar
menjenguk saat aku terbaring lemas di kasur rumah sakit. Kecapaian dan
kehujanan hingga basah kuyup pun, tak memberiku alamat saat kucari-cari apalagi
akan menjenguk atau menjagaku.
Sampai kepulanganku kau tak mau bersua, aku
memahami namun tak dapat aku mengerti. Bukanlah suatu kerinduan bila tak
kehendaki pertemuan. Kasih sayang tak mampu bertahan dalam kesengsaraan,
perjumpaan adalah kebahagiaan bagi para perindu.
Pagi sebelum aku pulang ke Jakarta, kusempatkan
nongkrong di depan warung kopi sambil membayangkan wanita anggun memakai motor
beat biru memakai setelan hijau berjaket abu-abu. Jam 06.00 aku meluncur dari hotel
menuju Simpang Arengka.
Hampir satu jam aku nikmati keindahan bayanganmu,
dengan ramainya lalu lintas dan aktivitas pasar pagi. Ternyata aku menikmati
apa yang dinikmati oleh Umbu Landu Paranggi, yang hanya menikmati datangnya bus
Malang-Jogja dengan membayangkan kekasihnya. Bila diberi kesempatan lagi di kota
itu, akan kusempatkan tiap pagi menikmati keindahan bayangmu. Sekalipun engkau
telah pindah dari sana.
Sebelum take off, dia menelepon dan menangis
karena tak bisa bertemu. Tas yang aku berikan hanya membawa duka untuk
mengingat seseorang yang dia sayangi berada di tempat kerja dia namun tak mampu
diri untuk menemui. Walau aku pahami namun aku tak mengerti, mengapa dia begitu
kekehnya untuk tidak menemuiku. Padahal kerinduan akan terobati karena perjumpaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar