Tiap akan
melaksanakan shalat jamaah termasuk saat terawih, Imam akan menyampaikan “shuwu
aswafakum finna taswiyata al-shaff min tamami al-shalah”, luruskan dan
rapatkan shaf kalian, sesungguhnya lurusny shaf bagian dari kesempurnaan
shalat. Ada fenomena menarik saat meluruskan dan merapatkan shaf, yaitu ada
orang-orang yang menempelkan telapak kaki hingga menginjakkan kaki makmum sebelahnya.
Bahkan sampai ngangkang untuk memenuhi “kesunahan” tersebut. Ini oleh sebagian
dianggap sesuai sunnah, dan sebagian besar masyarakat Indonesia tidak
berlebih-lebihan, sehingga sekedar rapat, kaki tak perlu melebar (sesuai
kebutuhan saat ruku’ dan sujud).
Hal ini juga
sama dalam dunia politik, birokrasi dan sosial masyarakat. Pemimpin akan
mengatakan rapatkan barisan, bangun soliditas, dan melangkah kompak meraih
tujuan bersama. Orang-orang akan merasa dekat dengan pemimpin baru atau mencari
hubungan kedekatan dengan mereka dengan ragam motiv yang mendasarinya untuk
merapatkan barisan. Kebanggaan dekat dengan pimpinan atau tokoh masyarakat atau
agama, mempertahankan atau mencari jabatan, biar dianggap orang penting,
mendapatkan akses kemudahan tertentu dan lain sebagainya.
Merapatkan dan
meluruskan barisan dalam shalat itu penting untuk kesempurnaan shalat dan
melaksanakan kesunahan, namun tak harus ngangkang dan menginjakkan kaki. Bertindaklah
yang sewajarnya, pilihlah merapatkan ke samping dibandingkan harus melebarkan
kaki (ngangkang) untuk memberikan makmum di belakang maju memenuhi shaf. Seperti
halnya penting kita merapatkan diri pada kesempurnaan tujuan ideal program
pemimpin politik, birokrasi, organisasi atau sosial masyarakat dengan tanpa
saling menginjak kanan-kiri kita. Hingga melalukan tindakan over persuasif,
ngangkang yang dapat menghalangi dan menjadikan tidak nyaman jamaah lainnya.
Kesempurnaan shalat dapat diibaratkan sebagai kesempurnaan tujuan ideal dari
program-program yang sudah ditentukan suatu negara, insititusi, organisasi dan
masyarakat.
Jamaah masjid
yang sudah istiqamah tak perlu mufarraqah karena pergantian imam sebagai
fenomena biasa dalam jadwal takmir masjid di masyarakat. Imam bisa berganti
dalam lima kali waktu shalat; dzuhur, ashar, maghrib, isya’ dan subuh. Bahkan
untuk imam shalat Jumat, terawih, dan shalat Iedain bisa berbeda imam shalat
rawatib. Begitu pula jumlah jamaah, pengikut, masyarakat pendukung bisa
sedikit, dan banyak. Fokus penting dalam shalat berjamaah adalah kesempurnaan
shalat (tamam al-shalat) berjamaah. Dan dalam kehidupan bermasyarakat
adalah tujuan ideal bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam
kehidupan sehari-hari, pemimpin bisa berganti sesuai dengan periodisasinya.
Kepala negara, Gubernur, Bupati, Walikota, Kepala Desa, Ketua RT dan RW bisa
berganti. Tiap pemimpin membawa karakter dan visi-misi yang “lebih baik”,
mereka juga ingin dikenang dengan meninggalkan legacy yang baik pula.
Apapun karakter dan visi-misi pimpinan, tujuan idealnya adalah masyarakat yang
adil dan makmur. Silih berganti pimpinan dan jumlah jamaah itu hal biasa,
jangan sampai jamaah yang akan merapatkan diri saling injak membuat pesakitan
jamaah yang lainnya.
Dalam hal
shalat berjamaah pun, ada wilayah jamaah (makmum) untuk memberikan alarm
positif (mengingatkan) apabila imam melakukan kesalahan dengan cara bertasbih
bagi jamaah laki-laki atau suara tepukan telapak tangan bagi pengingat
perempuan. Nah, upaya mengingatkan pimpinan apabila ada kesalahan atau
ketidak-akuratan program, bisa dilakukan dengan cara-cara yang baik tanpa menciderai
tujuan dan tidak gaduh tujuan ideal negara, institusi atau masyarakat tidak
batal.
Jamaah yang
baik mengetahui syarat rukun shalat untuk mencapai kesempurnaan shalat dan tata
cara mengingatkan imam bila terjadi kesalahan. Jamaah ini baiknya berada di
shaf pertama, bukan awam. Bukan berarti melarang orang awam berada di shaf
paling depan. Begitu pula dalam memimpin, harus menempatkan orang-orang yang
faham atas syarat rukun idealitas program dan ritme organisasi yang tepat untuk
mencapai tujuan tersebut. Apabila salah menempatkan orang, atau awam memaksakan
diri ke depan barisan, bila ada khilaf pimpinan awam tidak bisa mengingatkan
dengan baik tentang tujuan ideal program.
Begitulah,
dalam mengambil hikmah pelurusan shaf dalam shalat oleh imam dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga tak ada protes (mengingatkan)
dengan cara caci maki dan merendahkan (tidak tasbih), semua jamaah turut imam
meski konsep mufarraqah dibenarkan bila ada hal-hal yang krusial membuat
kemamangan dalam berjamaah. Mufarraqah dalam barisan shalat dengan
kesempurnaan ilmu tanpa gaduh (AB).