Minggu, 09 November 2025

Piket dan Kerja Bakti (rokan) di Sekolah Jangan Dihapuskan

Miris saat melihat lingkungan sekolah yang kotor, kumuh, sampah berserak dan di beberapa tempat ditumbuhi rumput dan semak belukar. Kepala sekolah dan guru gagal menerapkan materi ajar untuk membangun tanggung jawab terhadap masyarakat sekolah yang membiarkan lingkungannya kotor, kumuh dan jorok. Kepala sekolah disibukkan dengan rapat dan rapat, sedangkan guru hanya fokus mengajar. 

Sekolah unggulan menghindari protes orang tua/wali, dengan biaya mahal namun tetap menerapkan budaya feodalisme memanfaatkan anak-anak untuk bersih-bersih sekolah. Ada beberapa orang yang menghitung biaya pendidikan dengan layanan yang diberikan oleh sekolah. Secara tak sadar anak-anak hanya datang, mengikuti belajar mengajar di kelas dan kemudian pulang selama masa studi.

Di beberapa sekolah, menghapuskan jadwal piket (bersih-bersih) kelas untuk memperoleh fokus belajar. Padahal kita bisa mengamati, betapa anak-anak akan bangun pagi dan berangkat lebih awal untuk menunjukkan tanggung jawabnya saat jadwal piketnya. Sekolah juga sudah tidak lagi mengadakan kerja bakti siswa, dulu diistilahkan “Jumat Bersih”. Kegiatan tersebut bukan sebagai seremonial belaka yang fungsinya sudah diambil oleh Tukang Kebun atau Cleaning Servis. Jumat Bersih merupakan bagian dari penanaman budaya kebersihan, rasa memiliki terhadap tempat belajarnya, dan menjaga kebersihan lingkungan.

Di sekolah sudah tidak diberi tanggung jawab, di rumah juga akan lebih sulit orang tua menyuruh anak-anaknya untuk menyapu dan bersih-bersih rumah. Mereka hanya fokus pada gadget dan malas gerak (mager) untuk melakukan kegiatan bersih-bersih. Sementara ada hasil riset yang dilakukan selama 75 tahun oleh Harvard University, bahwa anak-anak yang terlibat dalam pekerjaan rumah tangga akan memiliki peluang meraih kesuksesan di masa dewasa.

Coba Kita amati, mba-mba atau mas-mas penjaga Alfa atau Indomart. Mereka menata dagangan, menyapu, membersihkan kaca, sopan melayani pembeli dan menjadi kasir bahkan merangkap sebagai securiti. Kita mungkin menilai hal demikian sebagai bentuk eksploitasi, karena perusahaan tidak mau rugi. Di sisi lain, perusahaan ingin membangun kecintaan karyawan terhadap lingkungan dan pekerjaannya. Seakan ingin mengatakan “Kamu mendapatkan penghasilan dari toko, maka Kamu harus layani dan jaga baik-baik tempat penghasilanmu”.

Nah, dengan melihat mekanisme kerja di atas, sekolah/madrasah seharusnya bisa membangun tanggung jawab, rasa cinta terhadap tempat belajarnya, menjaga kenyamanan belajar, menjadikan siswa dan orang tua sebagai sales marketing (kepuasan layanan), disiplin, hormat pada guru dan orang yang lebih tua, kemandirian (kemampuan mengurus diri), peduli sesama, cinta tanah air dan bangsa melalui proses belajar mengajar dan habbituasi yang mengarah pada pencapaian tujuan tersebut. Penguasaan mata pelajaran bisa dicapai dalam waktu singkat, namun masa studi jangan disia-siakan hanya untuk penguasaan materi dengan nilai-nilai bagus di raport namun tidak berkarakter.

Salah satu kagiatan untuk bangun karakter tanggung jawab, penanaman kebersihan, cinta terhadap tempat belajar, dan menjaga kenyamanan belajar adalah piket kelas dan kerja bakti. Kerja bakti di pesantren dikenal dengan rokan, yang berasal dari tabarukan atau mencari berkah dari kontribusinya pada pesantren yang akan menjadi jariyah para santri. Tabarukan atau ngalap berkah atas keikhlasan kiai yang mengajarkan ilmu agama. Menjalankan piket kelas, dan kerja bakti di sekolah juga menjadi keberkahan sendiri bagi para siswa tentunya melalui teladan para guru dan pemangku sekolah. Sehingga tidak hanya capaian akademik yang baik, juga terbangun budaya atau habbit yang baik di sekolah yang akan mengkarakter pada individu siswa yang bermanfaat kelak nanti (AB09112025). 

Sabtu, 08 November 2025

Mungkinkah Dibentuk Pesantren Desa?

Pesantren memiliki lima unsur yaitu; Kiai, Santri, Masjid, Kitab Kuning (kurikulum), dan pondok sebagian menambahkan adanya maqbarah para muassis (makam pendiri). Pesantren dikenal dengan kemandiriannya, terintegrasi dengan masyarakat, dan tidak menggunakan pendekatan klasikal melainkan sorogan dan bandongan serta menganut ketuntatasan dalam pembelajaran (mastery learning). Ciri lain pesantren adalah moderat, mengajarkan cinta tanah air dan bangsa serta menghargai keragaman. Dalam perkembangannya, pesantren dibedakan dengan pesantren modern (kholaf) dan tradisional (salaf/slafiyah). Pesantren modern memadukan antara pendidikan umum dan kajian kitab kuning sedangkan pesantren tradisional (salaf/salafiyah) hanya kajian kitab kuning. Apakah ciri-ciri dan karakter ini bisa diimplementasikan dalam lingkungan yang lebih luas dan komperhensif, yaitu di Desa.

Secara umum, desa memiliki masjid jami’ dan mushalla-mushalla di RT atau RW. Desa memiliki Kiai Kampung, dan ada tradisi keagamaan yang melekat di masyarakat. Di desa terdapat pengajian al-Quran, TPQ, Madrasah Diniyah, dan pengajian rutin. Pendidikan dilakukan dari anak usia dini hingga usia lanjut. Rumah penduduk merupakan pondok/kobong santri (masyarakat). Desa juga memiliki satuan pendidikan umum seperti Pendidikan anak usia dini (KB & TK/RA), SD/MI, dan sebagian memilki SMP atau MTs.

Untuk mengaplikasikan karakter pesantren dalam kehidupan masyarakat, harus didesain bersama, menyusun visi dan misi bersama serta mendesain kurikulum bersama. Desain kurikulum harus dapat memenuhi kebutuhan pendidikan anak usia dini, anak-anak, remaja, dewasa hingga usia lanjut baik keagamaan maupun pendidikan umum sehingga ada keseimbangan antara kebutuhan keagamaan dan pendidikan umum. Untuk diimplementasikan di desa, lebih cocok menggunakan karakteristik pesantren kholaf (modern).

Selain kurikulum dan vokasi/keterampilan, membutuhkan pemimpin spiritual (kiai) yang disegani oleh masyarakat disamping penguasaan kitab kuning. Penirian Pesantren Desa membutuhkan pemimpin struktural yang kuat dan bisa merangkul seluruh lapisan masyarakat serta mampu bekerjasama dengan pemimpin spiritual untuk membuat kebijakan yang mendukung pembentukan sebuah desa pesantren atau desa madani atau qaryah thayyibah dalam bingkai pesantren.

Membangun masyarakat pesantren tidak semudah mendirikan bangunan pesantren penuh fasilitas kemudian membuka pendaftaran para guru, santri dan pelaksanaan pembelajaran. Tradisi baik dalam pesantren yang akan dipraktikkan dalam lingkungan masyarakat yang heterogen membutuhkan waktu dan pendekatan serta kekuatan spiritualitas pemimpin desa. Desain kurikulum terpadu antara pendidikan umum dan keagamaan harus linier dengan praktik keagamaan serta teladan dari tokoh masyarakat dan tokoh agama.

Bila kepala desa dianggap sebagai lurah pondok, maka dia harus bertanggung jawab mengawal masyarakat (santri) belajar dan mempraktikkan keagamaan dengan baik. praktik keagamaan tidak hanya shalat jamaah, shalat sunnah, zakat, puasa, dan ibadah lainnya termasuk akhlakul karimah masyarakat. Tokoh agama harus menjadi teladan dan sumber ilmu bagi masyarakat. Santri (masyarakat) yang menyalahi adat istiadat atau etika kemasyarakat terkena hukuman sosial (takzir), maka para pemimpin harus berintegritas serta mampu menjadi teladan.

Di pesantren, semua santri yang hadir atau dipaksa hadir oleh orang tuanya harus memiliki satu tujuan yaitu menuntut ilmu dan mengikuti tata aturan dalam pesantren. Nah, masyarakat desa harus membangun kepentingan dan tujuan bersama, yang akan memudahkan dalam membentuk Pesantren Desa tersebut.

Pesantren Desa bukanlah sebuah projek sesaat, melainkan membangun masyarakat dengan mengimplementasikan nilai-nilai yang dikembangkan pada pesantren. Nabi Muhammad saw, bisa mendirikan kota Madinah dengan pemerintahan yang penuh teladan kenabian dan petunjuk (al-Quran). Kita tidak memiliki effort prophetic, yang dapat kita lihat adalah praktik yang dilakukan para kiai yang mengasuk pesantren dengan ciri-ciri di atas yang dimungkinkan dapat dikembangkan dalam lingkungan masyarakat yang beragam.

Senin, 11 Agustus 2025

Sumber Jariyah Tak Putus Pahala

Kita sering mendengar para muballigh menyampaikan amal jariyah yang pahalanya tidak terputus meskipun orangnya sudah meninggal. Satu, shadaqatun jariyatun atau sedekah jariyah. Yaitu, sedekah maliyah yang tetap mengalir pahalanya karena sesuatu yang disedekahkan masih difungsikan untuk ibadah. Kedua, ilmu bermanfaat. Ilmu (agama) atau pengetahuan yang kita berikan kepada orang lain dan dengan ilmu tersebut mereka melakukan kebaikan. Ketiga, doa anak yang shaleh kepada orang tuanya. Anak-anak shaleh merupakan deposito pahala yang akan selalu mengalir kepada orang tuanya, sebab didikan baik orang tuanya.

Dari ketiga sumber pahala tersebut, paling instan adalah menyumbangkan sejumlah uang atau barang ke masjid atau lembaga pendidikan. Dan motivasi para muballigh menyampaikan sumber pahala ini, bukan tidak mungkin juga agar masjid/mushalla dan lembaga pendidikan maju termasuk milik mereka. Bila kita memiliki kekayaan harta, alihkan ke pembuatan jalan, lembaga pendidikan, pembukaan lapangan kerja, dan fasilitas-fasilitas yang dapat meringankan masalah orang lain, selain untuk pembangunan rumah ibadah.

Ilmu (agama) tidak semua orang ahli di bidang tersebut, kecuali ahli agama seperti mufti, ulama, dan kiai. Lebih banyak dari kita mengetahui pendidikan agama dasar untuk pengamalan agama yang kita anut dengan baik, tidak sebagai pendidik (allim allamah). Yang ketiga, kita tidak yakin menilai diri kita sebagai orang yang shaleh yang doanya dapat memberikan aliran pahala kepada orang tua kita. Fenomena di masyarakat, kita akan mengundang orang-orang sekitar dan pemimpin agama untuk hadir mendoakan orang tua kita yang sudah mati sebagai bentuk pengakuan bahwa doa mereka lebih baik daripada doa kita (merasa).

Selain ketiga sumber pahala di atas, jarang kita melihat muballigh menyampaikan sumber pahala lain yang tidak pernah putus. Sumber tersebut adalah jariyah sosial dan lingkungan. Jariyah sosial adalah tindakan keteladanan dalam membentuk peradaban madani sehingga menjadi daerah atau wilayah yang baik (baldatun/qaryatun thayyibatun) dan Allah selalu memberikan pengampunan atau permakluman atas perilaku masyarakatnya (warabbun ghafur). Suatu tindak keteladanan seseorang yang kemudian membudaya menjadi tradisi baik, akan menjadi sumber pahala yang tak pernah putus sepanjang peradaban baik tersebut masih berjalan.

Rasul saw., menyampaikan dalam riwayat imam Muslim ra, “man sanna sunatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man amilabiha ba’dahu min ghairi ‘an yanqusa min ujurihim syai’un”. Barang siapa melakukan tindakan yang baik, dia akan memperoleh pahala dan pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang-orang yang mengikutinya. Menciptakan peradaban baik, adalah sumber pahala yang tak pernah putus dari praktek sosial masyarakat. Satu tindakan baik kita yang menjadi tradisi baik, merupakan sumber pahala jariyah kita yang tak pernah putus. Gajah mati meninggalkan gading, macan mati meninggalkan belang dan manusia mati meninggalkan budi baiknya.

Sumber lainnya adalah jariyah bi’ah, atau jariyah lingkungan. Yaitu menciptakan lingkungan yang memberikan kemaslahatan bagi manusia, binatang, ekosistem, konservasi air tanah, ketersediaan oksigen (O2) dan unsur lingkungan lainnya. membiarkan kerusakan lingkungan bagian dari kontribusi fasadun fi al-ardh. Dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, “Tiada seorang Muslim yang menanam pohon atau menebar bibit tanaman, lalu dimakan oleh burung atau manusia, melainkan ia akan bernilai sedekah bagi penanamnya.”

Orang yang menanam pohon atau biji, ketika tumbuh besar dan berbuah kemudian baginya pahala yang tak pernah putus selama pohon yang ditanamnya memberikan manfaat. Kita hitung kasar manfaat satu pohon dewasa. Dalam satu lembar daun paling tidak mengeluarkan 5 mililiter O2/Jam. Pada mohon tersebut hidup, semut, ulat, dan serangga, yang dapat mengundang burung untuk datang mencari makan. Bila pohon berbuah, akan mengundang burung, kelelawar, lalat buah, dan manusia sebagai penikmat buah tersebut. Akar pohon menyimpan air tanah, dan memberikan kehidupan organisme dalam tanah seperti cacing dan bakteri pembusuk tatkala daun-daun berguguran. Dan masih banyak kemanfaatan lain dari satu pohon yang kita tanam.

Dari sumber-sumber pahala jariyah di atas, kiranya kita dapat melakukan satu diantaranya dalam sepanjang umur kita, sedekah jariyah, menyampaikan ilmu, jariyah sosial dan jariyah bi’ah atau lingkungan. Jalani semua atas dasar keasadaran sebagai manusia yang memilki tanggung jawab di bumi (khalifah fil ardl) yang memiliki dasar agama dan pengetahuan yang untuk kemaslahatan ummat.

Sabtu, 26 Juli 2025

Cerewet: Alarm Cinta Seorang Ibu

Pagi buta kita sudah mendengar omelan ibu sambil terdengar “glomprang” suara perabot yang sedang dicucinya. Bila kita tak beranjak juga, akan terdengar teriakan panggilan dan sumpah serapahnya. “Subuh belum bangun, nanti mau jadi apa!!” lanjut “nanti rejekimu dipatuk ayam”. Belum lagi omelan saat kita tidak membantu pekerjaan rumah, jualan, tidak belajar dan tidur malem. Bahkan saat kita sudah merasa dewasa, omelan sayang ibu dianggap keterlaluan.

Meskipun kita sudah dewasa bahkan sudah menikah dan memiliki keluarga besar sendiri. Tetaplah seorang ibu menganggap kita sebagai anak-anak (anaknya) yang perlu dikhawatirkan bertindak salah dan ceroboh. Sehingga kita tidak nyaman atas tindakan Ibu yang anggap turut campur urusan kita dan merasa tidak nyaman atas kecerewetannya. Nasehatnya terkadang tidak sesuai dengan nalar kita, sehingga membutuhkan energi untuk menahan emosi.

Cobalah berpikir dengan baik dan cermat, “Kenapa kita tidak marah atas suara sama dan keras alarm yang bangunkan kita di pagi buta dan berulang tiap hari?” bahkan dengan sengaja kita setting alarm tersebut.

Tidakkah kita anggap kecerewetan Ibu itu sebagai alarm, pengingat kita, bentuk rasa sayangnya pada kita, dan ada yang dilihat seorang Ibu yang tidak kita ketahui. Sebagai orang yang memberikan Asi, mendidik dan mendampingi kita hingga bertahun-tahun, Ibu sangat memahami karakter kita. Rasa sayangnya yang tinggi diwujudkan dalam kecerewetannya merupakan anugerah bagi kita.

Janganlah marah, jangan ditentang dan sakit hati, senyumi dan ambil tindakan yang tidak menyakitkan hatinya. Kerelaan Ibu (orang tua) menjadi jalan keridhoaan Allah swt. Frekuensi dan power kecerewetan bisa nambah level saat Ibu kita bertambah usia. Cobalah diingat dan refleksi diri, betapa sabarnya seorang Ibu yang momong kita dengan sabar dari kenakalan kita. Dia menjaga kita dari ketidaklaparan, dia menangis mendoakan kita agar sukses dan menjadi orang yang bermanfaat.

Setelah kita sukses dan menjadi orang yang bermanfaat, kita lupa dan abaikan jasa ibu. Dan hanya melihat kecerewetannya belaka. Kesombongan kita bertambah dengan merasa kesuksesan itu karena usaha dan ikhtiyar kita. Bila Tuhan tidak memberikan rasa sayang pada kita, bisa saja kita dicekik mati dan ditelantarkan. Ibu kita dengan susah payah membesarkan kita, dia rela tidak makan untuk sekedar anaknya kenyang dan tidak menangis.

Bila kalian masih punya orang tua, jadikanlah dia pusaka yang diletakkan di hati kalian dan berbuat baiklah kepada mereka (birrul walidain). Bila telah tiada, kunjungi makamnya sebagai bentuk perhatianmu pada mereka. Doakan tiap saat, hadiahkan amal untuk mereka, sebab kalian tidak akan bisa mengirimkan pizza, roti, sate, nasi goreng dan lainnya kecuali sudah ditransformasi menjadi amal (sedekah) untuk mereka. Tiada hadiah yang berharga bagi selain doa dan kesalehan kita. Shaleh adalah proses transformasi menuju kesempurnaan (insan kamil).

Senin, 09 Juni 2025

Ikrar Pembuka Shalat Yang Terabaikan

Doa iftitah bukan menjadi rukun shalat, namun penting kita renungkan bagi yang mengamalkannya. Kita hanya melafalkan seperti mantra atau tahu artinya tanpa mengamalkan maknanya. Seumur hidup tidak mengalami peningkatan ilmu, padahal mencari ilmu itu wajib bagi tiap-tiap muslim (thalabul ilmi faridhotun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin). Hal ini menjadi tantangan bagi pengurus masjid dan mushalla, tidak hanya memperbaiki gedung dan interiornya, juga meningkatkan pemahaman keagamaan jamaahnya.

Setelah takbiratul ihram, kemudian membaca kabiran wal hamdulillah katsiran yang kurang lebih artinya keagungan dan pujian bagi Allah yang tak terkira. Katsiran itu banyak, berapa kali kita bertakbir, paling tidak 90 kali bertakbir dalam shalat wajib, bila dengan dzikir bakda shalat, menjadi 255 kali kita bertakbir setiap hari.

Manifestasi dalam kehidupan sehari-hari kita tidak mengerdilkan asma wa shifat Allah dalam ucapan, pikiran, perasaan dan tindakan. Menghawatirkan diri tidak memperoleh rizki adalah salah satu bisikan halus tidak percaya Allah yang maha pemberi rizki (al-Razaq). Kita secara tak sadar keluh kesah kita “blandrang” alias kebablasan hingga mengerdilkan Allah bahkan menghilangkan eksistensinya. Kita juga melakukan hal yang dilarang dengan menyepelekan  keberadaan Allah, dengan mengatakan “ah gampang nanti tobat” sambil kecengesan.

Kalimat hamdalah (alhamdulillah) sebagai ucapan ringan rasa syukur kita kepada Allah atas nikmat hidup dan fasilitas tanpa bayar yang diberikan-Nya. Lebih mendalam lagi kalimat tersebut tak hanya dibaca saat sadar merasakan nikmat dan pengantar dalam doa. Kita harus menggunakan nikmat tersebut untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita, menebar kebermanfaatan bagi sesama ciptaan-Nya paling tidak kenikmatan yang kita rasakan tidak digunakan untuk membuat kerusakan di bumi (yufsiduna fil ardh).

Wasubhanallahi bukratan wa ashilah, dan menasbihkan diri di pagi hingga sore hari. Apakah kita selalu bertasbih, dalam sehari minimal 318 kali bacaan tasbih. Bila makna tasbih itu “maha suci Allah”, sementara Allah tidak membutuhkan bacaan kita mensucikan-Nya. Mungkin kalimat itu untuk mengontrol pikiran, perbuatan dan rasa kita dari merendahkan dan mensyirikkan Allah swt., serta tidak melakukan perbuatan yang dilarang.  

Inni wajjahtu wajhiya, lilladzi fathara al-samawati wal ardhz hanifan musliman, sesunguhnya kuhadapkan diriku ke arah-Nya, Dia yang menciptakan langit dan bumi dengan ketundukan dan kepasrahan. Dalam aktivitas sehari-hari tidak boleh berpaling dari-Nya, semua tindakan hanya tertuju kepada Allah swt (lillahi ta’ala). Dengan bacaan tahlil (laa ilaha illa Allah), kita harus melatih diri semua yang selain Allah itu hilang (fana). Apakah tindakan kita sudah demikian? coba dipikir-pikir dan diresapi kembali (muhasabatun nafs).

Wama ana minal musyrikin, dan saya bukan bagian dari orang-orang yang mempersetukukan-Nya (musyrikin). Kita sendiri menyatakan bukan bagian dari orang-orang musyrik, benarkah kelakuan kita demikian? Mestinya kita sudah paham yang dimaksudkan syirik dan resikonya yang tidak akan pernah diampuni dosanya. Tindakan itu dari yang lembut (khoufi) seperti riya’ (pamer) hingga terang-terang (jally) dengan bertuhan kepada selain-Nya.

Inna al-shalati wanusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil alamin, sesungguhnya shalatku dan ibadahku, hidup dan matiku untuk Allah, pembimbing (rabb) seluruh alam. Coba dipikir kembali, bagaimana shalat kita, untuk siapa dan apa yang diharapkan? Dalam shalat diupayakan khusuk, dan memiliki self impact pencegahan dari perbuatan keji dan munkar.  Sembahyang merupakan persembahan diri kepada Sang Hyang (Allah swt) tanpa syarat dan mengharap imbalan. Pahala, surga, ketenangan, kesehatan dan lainnya adalah konskuensi yang didapatkan dari praktik yang hanifan musliman, bukan menjadi tujuan. Ingat …! Siapa menjadikan dunia dan niatan lainnya menjadi tujuan, maka mereka hanya mendapatkan hal yang dituju tersebut. Sebaliknya, barangsiapa Allah menjadi tujuannya, maka mereka akan mendapatkan dunia dan akhirat seisinya.

Laa syarika lahu wabidzalika umirtu wa ana minal muslimin, tidak ada persyirikan terhadap-Nya dan yang demikian diperintahkan dan saya bagian dari orang-orang yang tunduk (taslim). Sekali lagi tidak mempersekutukan disebut kembali, dan dinyatakan bahwa saya bagian dari orang yang tunduk atau damai. Artinya, tunduk menjalankan shalat dan ibadah lainnya dengan tanpa mensyirikkan dan melupakan Allah swt. Pesan untuk tidak meninggalkan dunia dalam keadaaan tidak tunduk (muslim), wala tamutunna illa wa antum muslimun dan hanya orang-orang yang muthmainnah (tenang jiwanya) yang dapat kembali kepada Allah swt. Silakan dipikir kembali, dalam kehidupan kita apakah sudah benar tindakan kita dalam kerangka tersebut?

Doa ifititah sebagai ikrar pembuka dalam shalat juga menjadi ikrar kita dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Shalat yang tepat adalah yang memberikan self impact pencegahan perbuatan keji dan munkar diri serta dapat menciptakan harmoni masyarakat dan alam sekitar dalam kehidupan. Shalat memiliki hubungan transendental secara vertikal dan horisontal. Secara vertikal, shalat merupakan dialog kawulo lan Gusti (al-shalatu mi’rajul mukminin). Setiap persoalan yang kita hadapi, dengan shalat kita mengkomunikasi dengan Allah (wasta’inu bi al-shabri wa al-shalah). Secara horisontal, shalat harus bisa menuntun pelakunya menjadi orang yang baik yang menebarkan kedamaian.

Setelah kita membaca setiap shalat, mari kira renungi untuk memanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan rukun, namun secara mendalam dapat menuntun dan mengingatkan kita atas ikrar iftitah shalat untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari hingga nanti kembali (ruju’) kepada Allah swt, dengan selamat.

Selasa, 03 Juni 2025

Semangat Jamarat, Jamaah Tersesat

Jamaah Haji Menuju Jamarat 2019

Satu kelompok terbang terdapat 395 jamaah dengan 25 persen resti dan lebih dari usia 60 tahun. Kami sangat menjaga mereka agar tetap sehat dan semangat menunaikan wajib dan rukun haji serta sunah-sunahnya. Setelah tiba di Mina, kita atur jadwal agar jamarat sesuai jadwal yang ditentukan dari pemerintah Arab Saudi. Meskipun demikian, ada pula yang Subuh hari sampai Mina, langsung jumratul ula seusai jamaah shalat subuh.

Di hari kedua, sepasang pengantin yang menua bersama dengan semangat berangkat untuk jamarat (jumratul wustha) dari mulai berangkat saya tidak melepaskan pandangan saya dari sepasang orang tua tersebut. Sekembali menuju tenda kita, saya berjalan di belakang kedua orang tersebut, sambil sesekali memastikan kondisi pasangan tua harmonis tersebut.

Saya       : “masih kuat, Bapak?”

Bapak    : “siaap, masih kuat Mas”, sambil menunjukkan tangan terkepal.

                  Kedua orang tersebut berjalan semangat dan bahagia mampu menyelesaikan

                  jumratul wustha, ada kebanggan nampak di raut wajah keduanya. Saya dekati

                  kembali, dan bertanya:

Saya       : “masih kuat, Bapak? Bila lelah, istirahat dulu nanti dilanjutkan kembali”

Bapak    : “tidak apa-apa, mas. Insyaallah masih kuat sampai tenda”

Setelah ketiga kalinya saya bertanya, jamaah dari berbagai negara tumplek-plek, dan saya kehilangan pasangan harmonis tersebut. Sambil berjalan, mata saya mengawasi dalam keramaian mencari mereka, hingga berputar kembali menuju tenda kami tidak menemukan Bapak tersebut. Setelah cukup lama bertanya-tanya, bertemu bapaknya dan nampak bapak tersebut kelelahan sambil kipas-kipas.

Saya       : “Kok baru sampai, Bapak?”

Bapak    : “iya mas, saya nyasar sampai ke tenda-tenda orang Malaysia, Thailand, dan

                  Piliphine”. Saya duduk kecapekan, bertemu dengan orang Indonesia diantar

                  kembali ke tenda”

Saya       : “hehehe….”, saya tertawa kecil sambil mengingat, kejujuran orang tua ini pun bisa

                  menyasarkan, selembut itu dibaca lain oleh Allah.

               “Baik, Bapak. Yang penting sudah sampai, tetap jaga kesehatan dan terus semangat

                 beribadah”


Saya duduk termenung, ada apa dengan semangat pasangan itu? Mungkinkah terbersit rasa percaya diri yang menihilkan Tuhan dalam semangatnya? Atau disorientasi karena crowded, dan berada di tempat baru, sehingga lupa rute jalan. Kita harus tetap menyertakan Tuhan dalam ucapan, perasaan dan tindakan, menghindari sombong, riya’ dan perasaan lain yang menihilkan Tuhan. Saat di Mina, hafalkan rute dan tandai saat berangkat agar kembali pulang tidak tersesat. 


Minggu, 01 Juni 2025

Sok Nasehatin, Diuji Bau Ketek

Survei Arafah, Muzdalifah & Mina

Sebelum survei lokasi di Arafah, Muzdalifah dan Mina di pagi harinya kami berkoordinasi dengan seluruh ketua rombongan dan regu serta jamaah. Hal yang disampaikan itenary selama Armuzna, strategi, dan sikap yang harus diantisipasi terutama untuk menjaga tiga hal yaitu rafats, fusuq dan jidal.

Kami menyampaikan detail jadwal dan strategi dengan mengikuti sekenario Allah dengan kepasrahan (tawakkal) yang dimungkinkan tiap detik, menit dan jam yang bisa berubah entah karena keadaan atau memang Allah menguji kesiapan jamaah untuk menjaga kemurnian peribadatan. Ada satu ketua rombongan (Karom) berpangkat kolonel, yang menghendaki jadwal harus ditaati dan dijalankan sesuai dengan rencana. Kami memahami bahwa bagaimana tentara dididik berdisiplin dengan waktu. Kami jelaskan dan didukung oleh para Karom yang sudah berulang kali membimbing haji di tanah suci. Kita sebagai tamu tidak bisa atur-atur si tuan rumah dalam melayani dan menjamu tamu.

Setelah penjelasan petugas pembimbing ibadah, giliran saya menyampaikan strategi untuk mengendalikan diri agar tidak berucap, berpikir dan berkehendak hati yang negatif terhadap orang lain.

Saya    : “Bapak/Ibu, selama Armuzna kita memiliki keterbatasan untuk mandi, apabila

    tercium bau ketek, jangan pernah terbersit di dalam hati, hingga mengucapkan

    kalimat kotor yang menyinggung orang lain”.

Jamaah            : “baik, Pak Ketua”

Saya belum pernah mengikuti rangkaian Armuzna, tetapi sok tahu dengan menjelaskan keadaan riuhnya jamaah dan saya menasihati jamaah tidak mengendalikan emosi selama rangkain tersebut.

Setelah pertemuan pagi, petugas kloter dan perwakilan Karom melakukan survei. Saya duduk kursi baris kedua dari belakang. Bis melaju menuju Arafah, di tengah perjalanan tiba-tiba tercium bau ketek yang sangat menyengat seperti beberapa hari tidak mandi.

Saya    : “Hahahaha…….belum ada sehari, langsung dibalas dan diuji”, saya ketawa sendirian

    sambil buat status di watshap.

Saya    : “makanya jangan sok tahu nasehatin orang,….hahahah”, saya menertawakan diri

    sendiri. Sampai kembali ke hotel, saya cerita sambil tertawa ngakak di kamar hotel.

Tak pernah terpikir nasehat yang saya sampaikan diuji oleh Allah swt, “apakah kamu bisa melakukan tentang apa yang kamu katakan? Jangan Jarkoni (iso ngajar ora biso nglakoni)”. Hal yang seperti itu saja telah dibayar tunai. Kejadian tersebut mengingatkan saya agar tidak sok tahu, tidak menyampaikan apa yang tidak tahu, dan berhati-hati dalam berbicara.


Sabtu, 31 Mei 2025

Haji Abidin pun Haji Panggilan

Petugas Haji DKI Jakarta 
Tahun 2019
Haji Abidin istilah bagi mereka yang berhaji atas biaya dinas (abidin) atau mereka yang ditugaskan untuk membantu kesuksesan penyelenggaraan ibadah haji di arab saudi. Kita bisa melihat kalimat talbiyah, labbaikallahumma labbaik yang artinya aku memenuhi panggilanmu ya Allah, aku memenuhi panggilanmu. Mereka di sela-sela melayani, mereka diberi kesempatan untuk melakukan haji sambil melayani jamaah. Semua petugas di kerahkan di wilayah arafah, muzdalifah dan mina membantu kelancaraan jamaah, mengikuti rangkaian ibadah haji.

Bagaimana dengan anggapan nyinyir, yang mengatakan mereka yang diberangkatkan sebagai petugas karena kedekatan dengan pimpinan. Pada prinsipnya penyelenggara ibadah haji melakukan rekrutmen petugas haji dengan syarat dan ketentuan tertentu termasuk syarat kesehatan sebagai petugas baik petugas kloter maupaun PPIH di Arab Saudi. Petugas haji tidak hanya dari Kementerian Agama, ada dari TNI, Polri, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kesehatan dan kementerian dan lembaga lainnya.

Tahun 2019, Kanwil Kementerian Agama yang memiliki embrkasi dijadwalkan melakukan kegiatan monitoring penyelenggaraan haji di Arab Saudi. Semua kelompok terbang (kloter) sebagian besar diberangkatkan, mendadak ada kebijakan dari Pemerintah Arab Saudi memberikan kuota tambahan sebesar 10.000 jamaah. Uang operasional untuk membantu pengawalan kuota tambahan diambilkan dari anggaran monitoring Kepala Kanwil Kementerian Agama dan lainnya. Akhirnya mereka tidak diberangatkan untuk monitoring; syarat kesehatan OK, syarat keuangan batal karena direvisi.

Kedekatan tidak pasti berpotensi diberangkatkan sebagai petugas. Ada yang tertunda diberangkatkan sebagai petugas, kemudian diberangkatkan bukan karena kedekatan, melainkan karena tugas dan fungsinya. Saat itu ada rumor orang dekat tidak lolos seleksi di tingkat pusat, kemudian mengikuti seleksi di tingkat bawah, juga tertolak. Ada teman yang katanya memiliki kedekatan dengan salah seorang pejabat, tetapi tidak lolos  seleksi. Profesionalisme dalam pelayanan tetap harus dikedepankan agar para jamaah sempurna ibadah hajinya dan mendapatkan kemabruran, begitu pula dengan petugasnya. 

Saya meyakini, baik jamaah yang berangkat menunaikan ibadah haji dan petugas adalah panggilan. Petugas yang berangkat dipanggil Allah untuk melayani tamu-tamunya (dhuyufurrahman) dengan baik. Apakah mereka kemudian menjadi mabrur atau tidak, tergantung masing-masing dalam menjalankan rukun dan wajib haji serta sunahnya. Mereka juga harus bisa memanifestasikan training mabrur saat hajian saat kembali ke tanah air.

Jumat, 30 Mei 2025

Petugas Tersesat Abaikan Adzan

Salah satu Bus Rombongan dari Madinah   
Menuju Makkah

Setelah menempuh perjalanan dari Madinah, sampai di Makkah istirahat untuk persiapan menunaikan umrah wajib dan thawaf qudum di malam hari. Jamaah menunaikannya sesuai dengan rombongan masing-masing, kami hanya menyarankan habis isya’ suasana lebih adem. Kami ikut rombongan yang akan ke masjidil haram di jam 11 malam, agar bisa langsung ikut jamaah subuh.Setelah menjalankan rangkaian peribadatan, pas adzan pertama sebelum subuh. Karena lumayan lelah, Kami berempat, 3 petugas dan 1 jamaah memilih untuk kembali ke maktab menunaikan shalat subuh di maktab, sembari istirahat. Kami berjalan menuju terminal Syib Amir, dan naik bis sesuai dengan nomor yang rutenya ke arah maktab.

Sambil ngobrol dan bercengkrama, tiba-tiba bis yang seharusnya belok ke kiri melewati depan maktab kami, belok ke kanan. Kami kaget dan langsung, memberikan kode untuk turun bis. Kita diturunkan kurang lebih 1,5Km harus jalan ke maktab kami, sambil tertawa berempat.

Petugas A  : “Syukurin, dah dipanggil adzan malah kabur….hahaha”

Petugas B   : “langsung kena tegooor tuh….. haha”

Jamaah       : “kitanya saja yang kelewatan,….dah adzan malah kabur,…wkwk”

Petugas C   : ”kok bisa yaa….”

Kami semua sadar dan menertawakan diri sendiri sebagai bentuk kedunguan kita yang tidak langsung ikut jamaah shalat subuh di masjidil haram. Mungkin tidak kita ungkapkan dengan entheng mempunyai perhitungan sendiri untuk shalat di maktab. Kami sampai di kamar tetap tertawa menertawakan diri sendiri, “mosok..! petugas kok tersesat…..Hahahha”

Setelah Mina Kembali Ke Setelan Awal

Mas Yudi terlelap di balik pintu bis
perjalanan Mina ke Maktab

Selama berhaji, kita dilatih untuk menjaga diri dari perbuatan rafats, fusuq dan jidal, faman faradha fihinna al-hajja falaa rafatsa wala fusuqa wala jidaala fi al-hajj. Ketiganya merusak ibadah haji. Rafats meruapakan perkataan atau perbuatan yang mengarah pada nafsu birahi, cabul dan hubungan seksual serta pornografi. Fusuq merupakan perbuatan maksiat (fasik) seperti mencaci-maki, takabbur atau sombong, hasud, zalim, fasad (merusak) atau perbuatan dapat menodai akidah dan keimanannya kepada Allah swt. Jidal, merupakan perbuatan berbantah-bantahan (poro-padu), memicu emosi orang lain, dan merasa diri paling benar. Bila sukses selama empat puluh hari menjaga perbuatan tersebut selama berhaji, Insyaallah akan mendapatkan kemabruran.

Jamaah saat awal sampai di tanah suci, mereka masih santun dengan menahan diri untuk tidak melakukan tindakan atau ucapan yang masuk dalam tiga larangan tersebut. Mereka masih menikmati karunia sebagai dhyufurrahman, untuk santun di rumah tuan ruman (haramain). Mereka juga tidak mau hajinya batal gegara tiga perbuatan tersebut. Gelombang I yang lebih dulu ke Madinah mempersiapkan diri untuk ambil miqat menuju Makkah, semua masih baik-baik saja hingga wukuf di Arafah.

Kondisi yang akan memicu emosi saat bis-bisa mengangkut jamaah dari hotel ke Arafah, alhamdulillah saat itu jamaah rapi antri sesuai yang kita sepakati. Mas Dody dan Mas Azam bilang; “jamaah Kloter Bapak yang paling rapi antri, dibandingkan kloter lain” di sektor 4 Makkah. Orang akan berebut naik ke bis agar cepat sampai di Arafah atau takut ketinggalan.

Hampir ribut, saat rombongan terakhir mau naik bus. Tiba-tiba kondektur mengatakan, pengangkutan jamaah akan dilakukan kembali setelah selesai shalat Jumat (jam 1 siang waktu Makkah). Kita negosiasi tidak berhasil, jamaah kita dorong kembali ke aula hotel untuk persiapan shalat Jumat, sudah pada ngedumel dan saya pura-pura budek saja sambil melayani. Lima menit kemudian bus kembali lagi, kita diminta segera naik, ributlah kembali.

Jamaah     : “bikin capek saja, sudah naik lift disuruh turun lagi”

Jamaah 2  : “sudah, ikuti saja. Nanti malah ketinggalan, tidak ngelah-ngeluh”. Mereka saling mengingatkan sesama jamaah.

Crowdit di Arafah, Musdalifah dan Mina, serta di tengah perjalanan, katerlambatan akomodasi, orang ngga jelas sendiri, jamaah hilang dan faktor lainnya akan memicu emosi jamaah. Para Petugas harus mengendalikan samudera kesabarannya dalam melayani jamaah dengan berusaha maksimal dengan penuh kepasrahan. Mereka masih bisa saling mengingatkan, sebab proses haji itu yaa di Armuzna (wukuf di Arafah, Mabid di Muzdalifah dan Mina).

Selesai Mabid di Mina ada peristiwa menarik, jamaah diangkut enam bis, saya, Ustadz Heri dan Mas Yudhi menjadi tim sapu ranjau. Dalam bis perjalanan ke hotel petugas kesehatan telpon:

Bu Dar     : “Ketua, bus kita nyasar dan masuk satu jalur lorong lawan arah”

                   “Hampir ribut dengan pemilik mobil yang diserempet spionnya”.

Saya         : “Ada siapa saja di rombongan?”

Bu Dar     : “si A, si B, dan lainnya”

Saya         : “Dinikmati saja dan sampai bertemu di hotel dengan selamat”

Bus terakhir lebih dahulu sampai di maktab, dibandingkan bisa kedua yang nyasar dan sedikit drama perjalanan.

Bersungguh-sungguhlah dalam menjaga tiga larangan rafats, fusuq dan jidal selama perjalanan haji anda. Kita akan diuji melalui pasangan, teman, anak, jamaah dari kloter dan negara lain. Penting melakukan kendali diri tiga laranangan tersebut, semoga mendapatkan kemabruran diri dengan ditandai tebaran kebaikan setelah hajian.

Haji Adalah Panggilan

        Gambar: Pak Nasib & dr. Rian       
Ibadah haji merupakan rukun islam yang kelima, bagi mereka yang mampu (istitho’ah) baik kesehatan maupun sarana untuk sampai ke haramain. Orang kampung menyikapi enteng; “yen wis diundang, wancine berangkat”. Sedemikian itu keyakinan masyarakat kampung, meski di kampung yang lain menjalankan ibadah haji harus menjual sawah dan kebon. Setelah menjadi Pak Haji, maka derajat sosial menjadi lebih tinggi, minimal kalau kenduren dapat dua berkat…heee.

Mampu (istitho’ah) yang pertama adalah melunasi biaya perjalanan, atau dibiayai oleh orang lain. Orang kaya belum tentu terketuk hatinya untuk mendaftarkan diri untuk berhaji. Ada orang kaya yang sudah dipanggil pelunasan oleh Kementerian Agama, tidak mau melunasi padahal banyak orang yang ingin segera menunaikan ibadah haji. Dia takut dengan cerita-cerita mistis para jamaah saat di haramain. Sementara seorang marbot masjid, tiba-tiba dikabari berangkat haji secara mendadak dibiayai oleh orang lain. Ada orang tak berpunya menabung seperak-dua perak dan akhirnya berangkat haji..

Mampu (istitho’ah) kedua, adalah sehat jasmani dan ruhani ditentukan oleh puskesmas atau rumah sakit. Pun demikian banyak resiko tinggi dan memiliki riwayat sakit bisa diberangkatkan, apakah itu dispensasi pemerintah sebab antrian panjang atau memang Allah yang memanggil untuk menjadi tamunya. Labbaikallahumma hajjan wau mratan, aku penuhi panggilanmu ya Allah untuk berhaji dan umrah.

Pak Nasib kloter 14 tertunda pemberangkatannya karena sakit, beliau berusia kurang lebih 80-an tahun. Beliau sendirian dan akhirnya berangkat dititipkan di kloter 19.

Dr. Rian      : “Pak Ketua, belaiu seharus tidak diberangkatkan, Pak. Saturasi oksigennya                                    rendah, tak mungkin layak terbang sebab beresiko tinggi”

Ketua            : “Kita hanya dititipi, dok. Bila Allah memanggilnya, Insyaallah berangkat, dan

                           bila tidak, pasti akan terkendala di pemeriksaan”

Akhirnya Pak Nasib jadi berangkat dengan kami ke Madinah terlebih dahulu dan saat di Makkah dikembalikan ke kloter semula.

Dalam cerita yang lain, di tahun yang sama. Ada seorang perempuan batal berangkat dua kali pemberangkatan haji (2 tahun), dan di tahun 2019 kondisinya masih sama, tidak memungkinkan secara medis untuk berangkat haji. Kemudian ada seorang alim memberikan saran kepada suaminya agar memohon kepada Allah, karena Dia yang mengundang sevagai tamunya (dhuyufurrahman). Saran tersebut dilakukan, dan rekomendasi medis perempuan tersebut layak terbang untuk menunaikan ibadah haji. Sedari kedatangan hingga pelaksanaan wukuf, perempuan itu sehat wal afiyat. Selesai pelaksanaan wukuf perempuan tersebut masuk rumah sakit seperti sedia kala saat di Indonesia, tak berselang lama meninggal dunia.

Dalam cerita lainnya penderita TB tulang, mendapatkan rekomendasi dari salah satu rumah sakit di Jakarta Timur karena saat diperiksa oleh tim medis dinyatakan sehat dan bisa berangkat menunaikan haji. Setelah di Makkah terdeteksi TB tulang, yang bersangkutan di karantina hingga kepulangannya. Ibadah hajinya dikawal oleh tim medis, wukuf dalam pengawasan tim medis. Setelah dipulangkan di penerbangan terakhir bersama petugas, sesampai di Indonesia dinyatakan sehat, sembuh dari penyakitnya.

Keyakinan orang kampung tentang haji adalah panggilan itu juga tidak mengada-ada, banya sekali kejadian yang mengarah pembenaran tersebut. Penulis cerita pun tidak menyangka berangkat ke tanah suci, padahal sudah tidak mau urusi diterima atau tidak menjadi pelayan tamu Allah. Ada banyak orang yang mendaftar hingga sembilan kali, namun tak lolos. Rasa ga tega dan ga layak, mengurungkan harapan tersebut. Mereka yang berangkat dan bertugas. Pesan isteri; “Mas, mpean itu dikon mangkat, dienteni ning kono” (wallahu a’lam).

Kamis, 29 Mei 2025

Bertemu Setelah Wafat

Gb. Di Depan Kantor Urusan Haji Indonesia Makkah 

Dini hari waktu Makkah saat itu mendapatkan pesan wattshap, mengabarkan wafatnya Mbah Moen. Bus shalawat sudah tidak lakukan layanan, transportasi yang bisa digunakan adalah taksi menuju Kantor Urusan Haji Indonesia di Makkah, tempat Mbah Moen disemayamkan. Saat itu saya langsung menghubungi isteri, kemudian disarankan untuk menuju tempat persemayaman Mbah Moen. Isteri mengatakan; “Mpean diminta ke Sarang sampai saat ini belum dilakukan, mumpung berada di Makkah, temui Mbah Moen!”, seraya menyuruh dengan rasa kesel terhadap saya.

Kenapa isteri menyuruh demikian, pernah suatu malam isteri bermimpi didatangi seseorang yang sepuh, menggunakan tongkat dan bersorban hijau.

Isteri           : “Jenengan sinten, Mbah?”

Sesorang    : “Saya Maemoen”

Isteri           : “Jarene taksih gerah?”

Sesorang    : “nggih, yen ra dikongkon rene Sahal nggih mboten mriki”

                      (Sebelum mimpi bertemu Mbah Moen, isteri bermimpi didatangi Mbah Sahal)

Setelah memberikan nasihat tentang merawat keluarga, yang kurang lebih menasehatkan “bila ingin anak-anakmu baik, shaleh-shalehah, perbaiki perilakumu dan suamimu”, Mbah Mon kemudian berpamitan pulang.

Sesorang    : “Wis yaa…saya mau pulang, kapan-kapan dolan ke Sarang”

Isteri           : “Nggih …Insyaallah Mbah”

Setelah saya pulang dari Jakarta, sebagai perantau dengan julukan PJKA (pulang jumat kembali ahad), isteri cerita mimpi tersebut.

Isteri           : “Orang itu siapa sih, Mas?”

Saya           : “Ciri-cirinya seperti apa?”

Isteri kemudian menceritakan ciri-ciri detail yang mengarah pada sosok Mbah Maimoen Zubair. Saya searching foto beliau di google dan tunjukkan ke isteri, dan isteri menjawab “iya, betul”. Saat itu yang saya dengar Mbah Moen sedang gerah (sakit) dan dalam mimpi isteri juga mengatakan demikian (wallahu a’lam).

Mimpi tersebut yang membuat semangat menuju Kantor Layanan Haki di Makkah, dan sesampainya disana, saya menunggu uyel-uyelan di depan pintu yang secara bergantian dibuka-tutup bagi para pelayat yang rata-rata santri beliau. Saya ditemani petugas pembimbing haji kloter 19 dari Jakarta Timur dan salah satu jamaah.

Setelah masuk, langsung menuju Mbah Moen yang tengah banyak orang menshalatkannya. Saya duduk tepat di samping kepala beliau, menunduk sambil menangis ngeracau ngomong ga jelas. Saya tidak menshalatkan beliau karena merasa malu saja, beliau seorang wali saya malu turut menshalatkan. Setelah cukup lama duduk, pundak saya ditepuk teman yang saya pikir sudah meninggalkan saya (berharap begitu) untuk leluasa ikut mengantarkan Mbah Moen.

Saya beranjak menuju pintu belakang, bertemu dengan anggota dewan HBR yang menawari ikut dalam ambulan yang mengantarkan ke Ma’la. Saya menolak, dengan alasan masih harus mengurus jamaah, jangan sampai jamaah saya terlantar Pak Kaji, dan saya pamitan kembali ke hotel. Saya sudah merasa senang ditemui beliau meski tanpa nasihat dari lisan beliau, dan merasa tak pantas berada dalam kerumunan orang-orang baik disana. 

Ada makna dan nasihat yang kami dapat dari peristiwa tersebut, baik yang melalui mimpi maupun pertemuan setelah beliau wafat. Andaikata kami sowan saat beliau masih hidup, akan banyak nasihat dan doa kebaikan untuk kami dan anak-anak kami. Kebanggan kami beliau dikenal sebagai min auliyaillah yang sangat teduh dalam membimbing umat (wallahu a’lam)


Jumat, 21 Maret 2025

Shuwu Aswafakum Dalam Fenomena Bermasyarakat

Tiap akan melaksanakan shalat jamaah termasuk saat terawih, Imam akan menyampaikan “shuwu aswafakum finna taswiyata al-shaff min tamami al-shalah”, luruskan dan rapatkan shaf kalian, sesungguhnya lurusny shaf bagian dari kesempurnaan shalat. Ada fenomena menarik saat meluruskan dan merapatkan shaf, yaitu ada orang-orang yang menempelkan telapak kaki hingga menginjakkan kaki makmum sebelahnya. Bahkan sampai ngangkang untuk memenuhi “kesunahan” tersebut. Ini oleh sebagian dianggap sesuai sunnah, dan sebagian besar masyarakat Indonesia tidak berlebih-lebihan, sehingga sekedar rapat, kaki tak perlu melebar (sesuai kebutuhan saat ruku’ dan sujud).

Hal ini juga sama dalam dunia politik, birokrasi dan sosial masyarakat. Pemimpin akan mengatakan rapatkan barisan, bangun soliditas, dan melangkah kompak meraih tujuan bersama. Orang-orang akan merasa dekat dengan pemimpin baru atau mencari hubungan kedekatan dengan mereka dengan ragam motiv yang mendasarinya untuk merapatkan barisan. Kebanggaan dekat dengan pimpinan atau tokoh masyarakat atau agama, mempertahankan atau mencari jabatan, biar dianggap orang penting, mendapatkan akses kemudahan tertentu dan lain sebagainya.

Merapatkan dan meluruskan barisan dalam shalat itu penting untuk kesempurnaan shalat dan melaksanakan kesunahan, namun tak harus ngangkang dan menginjakkan kaki. Bertindaklah yang sewajarnya, pilihlah merapatkan ke samping dibandingkan harus melebarkan kaki (ngangkang) untuk memberikan makmum di belakang maju memenuhi shaf. Seperti halnya penting kita merapatkan diri pada kesempurnaan tujuan ideal program pemimpin politik, birokrasi, organisasi atau sosial masyarakat dengan tanpa saling menginjak kanan-kiri kita. Hingga melalukan tindakan over persuasif, ngangkang yang dapat menghalangi dan menjadikan tidak nyaman jamaah lainnya. Kesempurnaan shalat dapat diibaratkan sebagai kesempurnaan tujuan ideal dari program-program yang sudah ditentukan suatu negara, insititusi, organisasi dan masyarakat.

Jamaah masjid yang sudah istiqamah tak perlu mufarraqah karena pergantian imam sebagai fenomena biasa dalam jadwal takmir masjid di masyarakat. Imam bisa berganti dalam lima kali waktu shalat; dzuhur, ashar, maghrib, isya’ dan subuh. Bahkan untuk imam shalat Jumat, terawih, dan shalat Iedain bisa berbeda imam shalat rawatib. Begitu pula jumlah jamaah, pengikut, masyarakat pendukung bisa sedikit, dan banyak. Fokus penting dalam shalat berjamaah adalah kesempurnaan shalat (tamam al-shalat) berjamaah. Dan dalam kehidupan bermasyarakat adalah tujuan ideal bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dalam kehidupan sehari-hari, pemimpin bisa berganti sesuai dengan periodisasinya. Kepala negara, Gubernur, Bupati, Walikota, Kepala Desa, Ketua RT dan RW bisa berganti. Tiap pemimpin membawa karakter dan visi-misi yang “lebih baik”, mereka juga ingin dikenang dengan meninggalkan legacy yang baik pula. Apapun karakter dan visi-misi pimpinan, tujuan idealnya adalah masyarakat yang adil dan makmur. Silih berganti pimpinan dan jumlah jamaah itu hal biasa, jangan sampai jamaah yang akan merapatkan diri saling injak membuat pesakitan jamaah yang lainnya.

Dalam hal shalat berjamaah pun, ada wilayah jamaah (makmum) untuk memberikan alarm positif (mengingatkan) apabila imam melakukan kesalahan dengan cara bertasbih bagi jamaah laki-laki atau suara tepukan telapak tangan bagi pengingat perempuan. Nah, upaya mengingatkan pimpinan apabila ada kesalahan atau ketidak-akuratan program, bisa dilakukan dengan cara-cara yang baik tanpa menciderai tujuan dan tidak gaduh tujuan ideal negara, institusi atau masyarakat tidak batal.

Jamaah yang baik mengetahui syarat rukun shalat untuk mencapai kesempurnaan shalat dan tata cara mengingatkan imam bila terjadi kesalahan. Jamaah ini baiknya berada di shaf pertama, bukan awam. Bukan berarti melarang orang awam berada di shaf paling depan. Begitu pula dalam memimpin, harus menempatkan orang-orang yang faham atas syarat rukun idealitas program dan ritme organisasi yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Apabila salah menempatkan orang, atau awam memaksakan diri ke depan barisan, bila ada khilaf pimpinan awam tidak bisa mengingatkan dengan baik tentang tujuan ideal program.

Begitulah, dalam mengambil hikmah pelurusan shaf dalam shalat oleh imam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga tak ada protes (mengingatkan) dengan cara caci maki dan merendahkan (tidak tasbih), semua jamaah turut imam meski konsep mufarraqah dibenarkan bila ada hal-hal yang krusial membuat kemamangan dalam berjamaah. Mufarraqah dalam barisan shalat dengan kesempurnaan ilmu tanpa gaduh (AB).

Kamis, 20 Maret 2025

Berburu Lailatul Qadar, Menetapkan Diri di Pasujudan

Para pemburu Lailatul Qadar sangat bersemangat untuk memperoleh keistimewaan malam tersebut. Mereka sampai melakukan I’tikaf di masjid, mengikuti sunah nabi saw dengan meningkatkan ibadah, dzikir, bacaan shalawat, tadarus al-Quran, bertasbih, dan menghindari perbuatan tercela. Di beberapa masjid di wilayah perkotaan ada yang menggelar kegiatan I’tikaf bersama. Ada yang menjalankan I’tikaf bersama keluarga mereka, untuk mengkhususkan diri pada peningkatan peribadatan di sepuluh malamm terakhir di bulan Ramadhan. Apakah di luar Ramadhan boleh dilakukan? Boleh. Bahkan dianjurkan saat kita shalat, mengunjungi pengajian di masjid untuk berniat I’tikaf.

I’tikaf dapat diartikan menetap atau berdiam di masjid dengan meningkatkan peribadatan dan menghindari perbuatan maksiat. Orang yang I’tikaf (mu’tafi) harus berniat diri (nawaitu I’tikafa fi hadza al-masjid). Mereka adalah muslim dalam keadaan suci (tidak berhadats) dan tidak dalam keadaan gendheng (berakal). Kemudian penyadaran apakah yang harus kita peroleh setelah melakukan I’tikaf di masjid?

Peningkatan peribadatan mereka selama I’tikaf harus mencapai penyadaran dalam ketundukan (bersujud). Masjid adalah tempat bersujud. Sujud menundukkan diri kepada Allah swt dimana isi otak di kepala diletakkan di bawah pantat tempat keluarnya kotoran. Sujud tidak bernegosiasi dengan isi pikiran, totalitas menyerahkan diri kepada Allah swt. Inna shalaty wanusuky wa mahyaya wa mamaty illahi rabbi al-alamin, sesungguhnya shalatku, peribadatanku, hidup dan matiku untuk (milik) Allah swt. Sujud merupakan posisi yang paling dekat atau upaya mendekat dengan Allah swt (wasjud waqtarib).

Kontemplasi yang dilakukan selama menjalankan I’tikaf dan menghindari sementara hiruk-pikuk aktivitas duniawiyah harus menghasilkan penyadaran diri tersebut. Penyadaran harus terimplementasi dalam ketundukan dan ketawadhuan yang nampak (min atsari al-sujud) pasca i’tikaf. Mereka penyayang sesama umat islam (ruhama’u bainahum) dan tegas atas perilaku kekufuran (asyidda’u ala al-kuffar), sehingga menjadi orang-orang yang dibersamai nabi saw dalam kehidupannya.

I'tikaf bukan sebagai rekreasi spiritual, selesai kemudian menceritakan keindahan dan kenyamanan selama menjalankannya. Bukan pula mengikuti ramai riuh penawaran program i'tikaf di masjid-masjid perkotaan dengan bimbingan ustadz tertentu. Bukan pula selebrasi yang diposting di akun media sosial untuk sebuah pengakuan dan komentar indah. Pun demikian, ketertarikan beri'tikaf bisa datang dari motif apapun yang bisa membawa penyadaran. 

Berniat diri untuk I’tikaf sejatinya meniatkan diri untuk menjadi orang-orang yang lebih dekat dengan Allah swt., bersiap menyayangi seluruh makhluk, tunduk tawadhu’ dalam kehidupan, untuk meraih ridha Allah swt dan sempurna melengkapi tujuan pencapaian derajat muttaqin (la’allakum tattaquun). Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa menetapkan diri dalam pasujudan untuk mencapai ridha Allah swt. 


Rabu, 19 Maret 2025

Lailatul Qadar Bukan Hanya Untuk Pelaku Qiyamul Lail

Ramadhan merupakan bulan istimewa dibandingkan sebelas bulan lainnya. Di dalam Ramadhan ada malam yang diistimewakan dan disebutkan dalam QS. Al-Qadr, yaitu lailatul qadar. Lailatul Qadar adalah malam saat diturunkan al-Quran, kemuliaannya melebihi 1000 bulan. Dimana malaikat termasuk malaikat jibril (Ruuh) diturunkan, mengurusi segala urusan umat nabi saw.

Tidak dijelaskan secara pasti kapan tepatnya para malaikat diijinkan Allah turun ke bumi itu. Sementara peringatan turunnya al-Quran (Nuzulul Quran) sering dilaksanakan mulai tanggal 17 Ramadhan, termasuk rutinitas peringatan resmi negara. Para ulama menginformasikan di sepuluh malam terakhir, bahkan ditegaskan pada malam-malam ganjil hingga merumuskan malam lailatul qadar dari hari awal Ramadhan.

Ketidakpastian waktu menjadikan istimewa malam tersebut. Intensitas ibadah ditingkatkan bagi pemburunya. Upama setelah mendapatkan apa yang diburu, kemudian akan menjadi apa dan bagaimana orang yang mendapatkannya serta bagaimana tahu kalau malam itu merupakan malam lailatul qadar? Dengan melewati kemuliaan malam yang melebih 83 tahun kebaikan, apakah akan mengubah karakter orang tersebut pasca Ramadhan.

Para pemburu senang membincangkan malam yang penuh misteri tersebut. Mereka akan melewati malam tersebut dengan memperbanyak dzikir, shalat sunnah, mujahadah malam, dan tadarus bahkan ada yang membuat program I’tikaf di 10 malam terakhir Ramadhan. Alangkah nikmatnya mereka yang berkesempatan melakukan ikhtiyar mendapatkan malam lailatul qadar dengan memperbanyak ibadah dengan kecukupan rejeki. Mereka yang menjadi sopir, pedagang malam hari, securtiy, pemulung pada malam hari, penarik ojek, penarik becak dan profesi lainnya yang harus menghabiskan malamnya untuk mencari nafkah bagi keluarga mereka bisa mendapatkan malam istimewa tersebut. Mereka kecil kemungkinan memaksimalkan ibadah seperti orang-orang yang dapat meluangkan waktu untuk I’tikaf dan memperbanyak dzikir di zawiyah atau masjid.

Nah, cara menggapai malam lailatul qadar adalah dengan menghidupkan malam tersbeut dengan memperbanyak dzikir, shalat sunah, tadarus dan kebaikan lainnya. Mereka yang harus mencari nafkah untuk keluarganya juga melakukan kebaikan, kebaikan tersebut juga sama seperti kebaikan orang yang I’tikaf di masjid. Bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya merupakan sebuah kebaikan yang wajib dilakukan.

Orang-orang yang tidak memiliki kesempatan duduk I’tikaf di masjid, bisa berada di perjalanan sambil membaca dzikir atau shalawat sirri (khoufi). Menyempatkan di sela-sela istirahat untuk shalat sunnah, baca al-Quran di HP, berbuat kebaikan dan sedekah di malam hari, menolong orang atau pun perbuatan mubah yang diniatkan untuk mencegah kemaksiatan. Tindakan-tindakan mereka juga dikategorikan kebaikan, apalagi bertepatan dengan malam lailatul qadar akan mendapatkan ganjaran dengan porsi yang sama yaitu melebihi 1000 bulan.

Penting, mengetahui rumus meninggalkan larangan (kemaksiatan) dan menjalankan wajib serta melakukan perintah sunnah sesuai dengan kemampuan masing-masing. Mengenal dan mengidentifikasi ketaatan, kemaksiatan, tindakan mubah, makruhah, dan sunnah agar kita tidak terjebak pada tindakan yang di larang atau yang harus ditinggalkan. Kebaikan apapun yang dilakukan pada malam lailatul qadar akan diberikan nilai melebihi 1000 bulan kebaikan. Termmasuk mereka yang di rumah menjaga isteri dan anak-anak mereka, menemani keluarganya, menyiapkan sahur bagi keluarga, suamiyang memeberikan nafkah batin isterinya dan tindakan baik lainnya. 

Siapapun kita dan dimana pun kita berada yang memburu lailatul qadar untuk tetap waspada pada malam selama ramadhan untuk menghidupkan malam-malam terakhir dengan kebaikan dalam bentuk apapun termasuk merenung (muhasabatun nafs) di pojokan pasar atau stasiun kereta dalam rangka meningkatkan ketakwaan diri. Semoga kita dapat meraih lailatul qadar dengan kadar kebaikan kita masing-masing dan saling mengasihi melalui doa-doa kita terhadap sesama.
 

Piket dan Kerja Bakti (rokan) di Sekolah Jangan Dihapuskan

Miris saat melihat lingkungan sekolah yang kotor, kumuh, sampah berserak dan di beberapa tempat ditumbuhi rumput dan semak belukar. Kepala s...